**
Pasca proklamasi kemerdekaan, para pemuda Surabaya berhasil memperoleh senjata dari Tentara Jepang. Selain itu, gerakan pemuda juga diorganisir sedemikian rupa, sehingga mereka siap menghadapi berbagai ancaman yang datang dari manapun.
Aku sampai di Surabaya malam hari, sesuai pesan guruku, aku harus bergabung dengan para laskar pemuda Surabaya di dekat Jembatan Merah. Kebanyakan dari mereka ternyata adalah para santri. Tak ada satu pun yang kukenal, tapi mereka langsung akrab denganku. Ada semacam ikatan yang menyatukan kami. Pimpinan laskar pemuda memanggil kami.
"Kebanyakan dari kita di sini baru pertama kali bertemu dan tak saling mengenal sebelumnya. Tapi saya yakin jiwa kita telah akrab. Kita disatukan oleh rasa senasib seperjuangan. Maka dari itu kita sebenarnya adalah satu. Satu jiwa satu tujuan. Kita lahir dan besar di tanah ini. Sudah seharusnya kita ikut andil angkat senjata melawan perampok yang ingin merebut dan merampas kota ini.
Saudara-saudaraku seperjuangan, mari niatkan hati kita untuk membela tanah air. Membela negeri ini. Pasukan penjajah telah mendarat di Surabaya, kabar yang saya terima mereka berjumlah 5.000 tentara dengan senjata yang canggih. Tapi kita tidak takut, kita tidak gentar sedikitpun. Kita akan berjuang sampai titik darah penghabisan.
Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Tidak ada ruang sedikitpun untuk penjajah di Surabaya. Lebih baik kita mati dalam perjuangan daripada hidup terhina. Mereka datang dengan alasan untuk membebaskan kumpeni yang ditawan dan melucuti senjata Jepang. Tapi di balik itu sebenarnya Cindhil Abang iki arep njajah kutho Suroboyo maneh. Besok pagi persiapkan diri kalian untuk menggempur mereka. Yakinlah kita akan menang. Sebab, Allah bersama kita. Allaahu akbar!"
Dengan semangat berapi-api, pimpinan laskar pemuda berpidato untuk membulatkan tekad kami. Ia masih muda, Mas Aji namanya. Kuperkirakan usianya sekitar tiga puluh tahun. Tapi ia punya wibawa sebagai seorang pemimpin. Tidak ada keraguan sedikitpun dalam sorot matanya. Ia asli arek Suroboyo. Usai berbicara panjang lebar mengenai rencana penyerangan esok hari, ia kemudian mempersilakan kami untuk istirahat.
Tubuh kami memang butuh tidur meski sekejap. Satu-persatu kami beranjak merebahkan badan dan memejamkan mata. Tapi kulihat Mas Aji tetap terjaga. Memastikan agar kami bisa benar-benar tidur terlelap. Tapi aku tetap tak bisa tidur, mata ini sulit terpejam. Memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Dan bulan perlahan tertutup mendung. Angin malam ini kurasakan semakin dingin.
***
Keesokan paginya kami berangkat untuk berperang. Kami menyerbu salah satu pos pertahanan Sekutu. Ada delapan Pos pertahanan yang dibangun Sekutu. Tiga puluh ribu rakyat bersenjata api dibantu oleh seratus ribu rakyat bersenjata tajam menggempur dari semua penjuru.
Dua hari perang tanpa henti. Suara desing peluru dan ledakan granat memekakkan telingaku. Kami menggempur musuh habis-habisan. Tentara Sekutu yang baru beberapa hari datang ke kota ini dan tidak siap bertempur, mengibarkan bendera putih dan memohon untuk berunding. Mereka sangat licik. Dalam posisi terdesak, Sekutu menghubungi pimpinan Indonesia di Jakarta. Mereka sadar, tidak ada jalan lain selain meminta bantuan dari Jakarta. Untuk menyelamatkan ribuan nyawa tentara Sekutu yang sudah kami kepung.