"Inggih Abah, semoga saya tidak akan mengecewakan panjenengan."
"Yang terpenting yakinlah bahwa kamu mampu melaksanakan tugas ini. Sekarang pulanglah, temui Ibumu, mintalah restunya dan sampaikan salamku. Setelah itu langsung berangkatlah ke Surabaya."
"Inggih Abah, mohon doanya."
"Do'a restuku menyertaimu anakku."
**
Kyai yang juga guruku begitu memercayaiku hingga akulah yang dipilih untuk memikul tanggung jawab ini. Aku memanggilnya Abah, sebab sedari kecil aku "dititipkan" untuk menuntut ilmu agama di sini oleh Ibuku. Jadi beliau sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri.
Maka, tak akan ku sia-siakan kepercayaan ini. Kuterima amanah ini demi tanah airku. Demi kemerdekaan bangsaku. Tugas ini harus berhasil. Kini seolah-olah aku dihadapkan pada pilihan, Sang Jenderal yang mati atau aku yang akan kehilangan nyawa.
Sore hari aku berangkat menuju Surabaya, dalam perjalanan masih teringat jelas raut wajah Ibu yang berurai air mata saat aku berpamitan. Beliau memelukku dan berbisik di telingaku.
"Selesaikan tugas ini. Dan berjanjilah untuk pulang dengan selamat!"
"Iya Ibu, saya janji. Anakmu ini akan pulang."
Entahlah, seperti apa perasaan seorang Ibu yang merelakan putranya pergi berperang. Dalam benakku masih tersimpan tanya kenapa aku yang dipilih untuk melaksanakan misi ini.