Jadi dapat dipahami jika masyarakat awam tidak lagi dapat membedakan antara tindakan tipu daya dan tindakan politik. Keduanya telanjur dianggap identik.
Terlebih menempatkan seorang "SETYA Â NOVANTO" - terperiksa kasus korupsi di KPK sebagai pimpinan di parlemen, sehingga dapat dimaklumi jika politik teleh terstigma sebagai :
"Politik adalah tipu daya, tipu daya adalah politik".
Padahal, berbagai bentuk perilaku semacam itu jelas tak sama dengan makna dasar politik yang sesungguhnya.
Di tengah kondisi perpolitikan kita yang selalu dirundung kekisruhan tersebut, gagasan zoon politikon yang dilontarkan Aristoteles beberapa abad yang lalu itu agaknya relevan untuk dijadikan upaya berkaca-diri.
Perpolitikan di Tanah Air masih harus menempuh perjalanan panjang untuk sampai pada keadaban politik sebagai dasar terwujudnya RES PUBLICA.
Hari ini, kita juga memahami, jika akhirnya kisah "ANJING Â BERKOKOK, TIKUS MENGGONGGONG adalah keniscayaan.
BINATANG yang menggonggong HANYA SATU, tapi kepribadiannya terpecah menjadi ENAM hingga TUJUH macam bahkan bisa lebih.
Hari ini, sudah tidak ada lagi Tikus yang bodoh, yang hanya bekerja sama dengan sesama tikus, untuk melawan kucing yang berkoalisi dengan sesama kucing. Bahkan hari ini tikus putih tidak lagi hanya menjadi hewan percobaan di laboratorium biologi manusia, tapi tikus putih pun sudah piawai mencuri sapi dengan mengibarkan bendera KEADILAN SEJAHTERA.
Hari ini, sepertinya MACAN TIDAK SELALU MENJADI MACAN, Â kapan saja SANG MACAN HARUS SIAP MENJADI AYAM, semua tergantung kepentingannya.