Proses coaching sebagai komunikasi pembelajaran antara guru dan murid, maka murid perlu diberi ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan peran guru sebagai "pamong" dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada, agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.
Keterkaitan Coaching dengan Pembelajaran Berdiferensiasi
Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang beorientasi kepada kebutuhan murid, atau usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu murid, atau pembelajaran untuk mendukung semua murid di kelas.
Pembelajaran berdiferensiasi dapat dilakukan di kelas, dengan mengikuti alur yaitu (i) tujuan pembelajaran didefinisikan secara jelas, (ii) guru merespon kebutuhan murid, (iii) guru menciptakan lingkungan belajar yang "mengundang" murid untuk belajar, (iv) manajemen kelas yang efektif, dan (v) penilaian berkelanjutan.
Pembelajaran berdiferensiasi dapat memenuhi kebutuhan belajar murid dan membantu mencapai hasil belajar yang optimal, jika guru melakukan pemetaan kebutuhan berdasarkan 3 (tiga) aspek, yaitu (a) kesiapan belajar, (b) minat, dan (c) profil belajar murid. Selain itu, guru menerapkan 3 (tiga) strategi diferensiasi secara baik dan benar, yaitu (a) konten, (b) proses, dan (c) produk.
Dalam kaitan untuk mencari tahu tentang kekuatan dan potensi yang dimiliki coachee (murid), seorang coach (guru) sudah seharusnya memiliki cara dan metode untuk dapat mengeksplorasi kemampuan diri murid dalam kaitannya untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapinya.
Untuk menggali potensi dan menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi coachee (murid), seorang coach (guru) harus memiliki Kompetensi Inti Coaching, yaitu (1) Kehadiran Penuh (Presence); kemampuan untuk bisa hadir secara utuh bagi coachee sehingga badan, pikiran, hati selaras saat melakukan percakapan coaching. Kehadiran penuh ini adalah bagian dari kesadaran diri yang akan membantu munculnya paradigma berpikir dan kompetensi lain saat kita melakukan percakapan coaching, (2) Mendengarkan Aktif; seorang coach yang baik akan mendengarkan lebih banyak dan lebih sedikit berbicara. Dalam percakapan coaching, fokus dan pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni mitra bicara. Dalam hal ini, seorang coach harus dapat mengesampingkan agenda pribadi atau yang ada pada pikirannya, termasuk penilaian terhadap coachee. Salah satunya melalui mendengarkan aktif dengan RASA; yaitu (a) Receive/Terima; menerima/mendengarkan semua informasi yang disampaikan coachee dengan memperhatikan kata kunci yang diucapkan, (b) Appreciate/Apresiasi; memberikan apresiasi dengan merespon atau memberikan tanda bahwa kita mendengarkan coachee, (c) Summarize/Merangkum; saat coachee selesai bercerita, kemudian merangkum untuk memastikan pemahaman kita, (d) Ask/Tanya; mengajukan pertanyaan berbobot yang bersifat terbuka, dan (3) Mengajukan pertanyaan berbobot; pertanyaan yang diajukan seorang coach diharapkan mampu menggugah coachee untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan lanjutan.
Selain itu, seorang coach (guru) dapat menerapkan coaching dengan alur percakapan TIRTA. Adapun langkah-langkah penerapan coaching dengan alur percakapan TIRTA, yaitu (1) Tujuan, membuat kesepakatan topik pembicaraan dan hasilnya, (2) Identifikasi, coach melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan, dan menghubungkan dengan fakta-fakta yang ada pada saat sesi, (3) Rencana aksi, pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang dibuat, dan (4) TAnggung jawab, membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya.
Keterkaitan Coaching dengan Pembelajaran Sosial dan Emosional
Pembelajaran Sosial dan Emosional adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak, guru, dan tenaga keguruan di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional agar dapat, (a) memahami, menghayati, dan mengelola emosi (kesadaran diri), (b) menetapkan dan mencapai tujuan positif, (c) merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial), (d) membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan membangun relasi), dan (e) membuat keputusan yang bertanggung jawab (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab).
Berkaitan dengan kebutuhan belajar dan lingkungan yang aman dan nyaman untuk memfasilitasi seluruh individu di sekolah agar dapat meningkatkan kompetensi akademik maupun kesejahteraan psikologis (well-being), ada 4 (empat) hal mendasar dan penting yang harus dipelajari, dipahami, dan diterapkan oleh para guru, yaitu (1) Urgensi Pembelajaran Sosial dan Emosional untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman agar seluruh individu di sekolah dapat meningkatkan kompetensi akademik dan kesejahteraan psikologis (well-being) secara optimal, (2) Konsep Pembelajaran Sosial dan Emosional berdasarkan kerangka CASEL (Collaborative for Academic, Social dan Emotional Learning) yang bertujuan untuk mengembangkan 5 (lima) Kompetensi Sosial dan Emosional (KSE), yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, (3) Konsep kesadaran penuh (mindfulness) sebagai dasar pengembangan Kompetensi Sosial dan Emosional (KSE), dan (4) Implementasi Pembelajaran Sosial dan Emosional di kelas dan sekolah, yaitu melalui pengajaran eksplisit, integrasi praktik mengajar guru dan kurikulum akademik, dan penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah.