Mohon tunggu...
M Hasbi A.s
M Hasbi A.s Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Cerpenis saja ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meskipun Kau Berlindung

14 Agustus 2012   10:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:47 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berhenti. Hujan rintik-rintik turun. Lembut tapi menjanjikan banjir.

Mbah Brewok turun lalu menepuk-nepuk bahuku. Aku masih tak mengerti maksudnya. “Cepat pulang, Nak. Mbah do’akan dari rumah saja. Semoga kamu sekeluarga dikuatkan kesabarannya.” Mbah Brewok cepat-cepat menambahkan sewaktu melihat aku ingin menyela. “Sudah, jangan tanya apa-apa lagi. Keburu hujan dan jalan sini bahaya kalau lagi hujan. Mbah pulang sendiri saja, nggak perlu kamu antar.”

Ia kemudian berbalik dan berjalan meninggalkanku yang masih melongo.

*

Tak perlu kau minta
Kubangunkan istana megah untukmu, Saudara
Lengkap dengan benteng penuh penjaga

Namun apalah arti
Bila maut tak mampu ditawar atau dibeli
Usiamu muda namun jangan salah
Ia membidik tak menunggu datang masa tua

Lalu untuk apa benteng tinggi itu, Saudara?
Ia menikam dari dalam

Air mataku kupaksakan berhenti. Aku jadi pelayat terakhir yang tiga langkahku meninggalkan pusara ini akan menjadi alarm bagi dua penjaga di dalam sana untuk mengintrogasi Ilyas.

Aku bangkit dan berusaha berpikir selogis mungkin, bahwa ini semua sudah berakhir, bahwa jatah umur Ilyas telah habis. Ia dikafani di usianya yang baru tiga puluh satu tahun. Dadaku sesak namun kusadar ini semua harus berlalu.

Aku memeluk istri dan anak-anakku yang menunggu di gapura pemakamam. Biar ini jadi pelajaran yang berharga bagi kami semua. Mati adalah sesuatu yang pasti. Tidak ada yang bisa menawar atau mengusir si penjemput bila ia sudah mengetuk pintu rumah dalam hening. Tidak juga Mbah Brewok yang katanya mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Semua sudah dijatah. Tidak bisa berkurang, tidak bisa bertambah.

Kucium kepala anakku. Benar katanya, manusia memang hanya bisa sebatas berusaha. Kami harus ikhlas. Aku harus bisa ikhlas. Mungkin aku giliran jadi isi kafan berikutnya. Mungkin anakku, mungkin istriku. Semua punya peluang untuk itu. Hanya saja aku tak ingin kami jadi isi kafan yang bau, tanpa rasa. Kami masih punya kesempatan untuk melihat dan merubah masa depan, masa depan di liang lahat. Aku tak ingin menyia-nyiakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun