Cogito ergo sum, kata Descartes. Aku berpikir, maka aku ada. Pernyataan yang nampak senderhana ini seperti menggulung hidup dalam sebuah lipatan kecil. Sejauh mana lipatan itu bisa dibuka tergantung masing-masing orang. Ada yang bisa membuka cuma beberapa lipatan hingga banyak lipatan yang terjabar lebih luas.
Kepanjangan Aku
Ketika si Budi memegang tangan si Purwoko, apa yang dipegang adalah kepanjangan dari "Aku". Bagian bentuk fisik bagian kecil dari "Aku". Meski hanya sebagian kecil saja dari "Aku" kadang manusia menafsirkan dengan salah bahwa itulah cerminan "Aku"-nya.
Demikian juga pundak, bahu, dada, kepala, kaki, pantat dan seterusnya. Tubuh adalah bagian kecil saja yang secara materi bisa diraba dari keseluruhan "Aku" yang luas tak terbatas dunia metafisiknya.
Namun dalam peradaban yang lebih menitik-beratkan dunia materi ini, kepanjangan "Aku" bermetamofosa seolah menjadi "Aku" itu sendiri. Orang pun menghiasi tangannya agar "Aku"-nya nampak indah. Karena materi lebih bisa diukur harganya, maka makin mahal harga seolah "Aku" juga makin baik. Orang pun sibuk mendadani kepanjangan "Aku" dengan segala asesoris gemerlap. Makin gemerlap seolah makin berarti, makin eksis, makin dihargai, makin percaya diri, hidup makin terasa berarti.
Ketika tubuh tak lagi memuaskan penampilan "Aku" maka meluas ke benda materi lainnya. Seolah dengan dunia materi lainnya itu simbol dari kepanjangan "Aku" juga. Mobil mewah, rumah mentereng, tanah berhektar-hektar, isteri lebih dari satu, jabatan terhormat dan seterusnya. Kalau kurang dana, bisa korupsi.
Pilihlah "Aku" ketika kampanye pemilu tiba. Partai politik pun jadi kepanjangan "Aku". Karena berhubungan dengan masalah ekspresi "Aku", maka tak segan-segan menempuh segala cara termasuk dengan main bual, main tipu, main ancam, main sogok dan seterusnya asal "Aku" terpilih.
Ketika semua kepanjangan dari "Aku" itu dipreteli dan masuk penjara, lalu tiba-tiba disadari bahwa kini tidak punya aku lagi. Keterlupaan datang terlambat. Aku yang sebenarnya adalah ada di dalam dan tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang ada di luar. Ia kini merasa kosong. Materi kepanjangan akunya begitu gampang dirampas orang.
Ketika dihempaskan dan dihadapkan pada aku sebenarnya, pemahaman tidak diperolehnya. Akhirnya tidak diperoleh keseimbangan diri. Maka kesadaran waktu, tempat dan ruang tidak bisa dicerapnya. Akibat berikutnya adalah gila dan kesadaran tentang akunya menguap entah ke mana. Manusia tanpa kesadaran atas waktu, ruang dan tempat sama saja sekelas dengan binatang. Tidak punya lagi roh. Tidak lagi punya kesadaran.*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H