Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pilihlah Aku, Jangan Lainnya

23 Maret 2014   13:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:36 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dulu waktu masih duduk di bangku SD, pulang sekolah kami anak sekampung sering main kejar-kejaran di tanah lapang dekat kuburan desa. Jumpritan, nama permainan anak kecil di daerahku. Yang kalah harus mengejar yang menang hingga ketangkap dan memegang tubuhnya.

Yang kepegang ganti jadi pihak yang kalah dan mengejar lainnya. Biasanya akan dipilih siapa yang larinya paling pelan sehingga mudah kepegang. Permainan ini disenangi anak-anak. Bisa berlangsung berjam-jam. Peluh mereka bercucuran. Olahraga sambil bermain.

Setelah cukup lama akhirnya semua kelelahan. Lalu duduk ngobrol cerita macam-macam di atas rumput di pinggir lapangan. Kadang saling meledek satu sama lain.

"Larimu kayak mbah Marto. Nyirik-nyirik," kata Purwoko meledek cara lari anak lain.

Mbah Marto adalah juru kunci kuburan desa yang galak. Sambil menggembala lima kambingnya, mbah Marto yang usianya 70an tahun itu membersihkan kuburan. Kadang anak-anak menaiki kambing mbah Marto. Melihat perbuatan anak-anak itu, mbah Marto akan marah dan mencoba mengusir mereka. Karena sudah lanjut, larinya tak bisa kencang. Kadang seperti menyeret kaki kirinya. Anak-anak senang menggodanya. Sambil menaiki kambingnya malah teriak manggil mbah Marto. Biar dikejar.

"Lha kamu lari kayak menthok. Ibal ibul," kata Budi tak kalah sengit.

Kami semua tertawa tergelak mendengar olok-olok itu. Tak ada yang dimasukkan hati. Anak kecil kalau berkelakar kadang keterlaluan juga.

"Meski ibal-ibul kamu apa bisa megang aku," tantang Purwoko.

"Mau taruhan gimana?" balas tantang si Budi.

"Yakin? Coba kalau kau bisa pegang aku," tantang Purwoko lagi sambil berdiri ambil ancang-ancang. Si Budi pun berdiri dan ambil ancang-ancang.

"Siap... Prit..." kata Purwoko. Budi dengan cepat menangkap tangan si Purwoko.

"Itu bukan aku, tapi tanganku" kata Purwoko. Budi pun melepaskan tangan Purwoko. Lalu megang pundaknya.

"Itu bukan aku, tapi pundakku," kata Purwoko lagi. Budi nampak kesal.

"Terus yang mana?"

"Ya, terserah. Pokoknya pegang aku kalau bisa," jawab Purwoko. Budi pun berjalan ke belakang si Purwoko dan menyentuh kaki belakang Purwoko dengan kakinya.

"Itu bukan aku, tapi kakiku," kata Purwoko.

Budi tiba-tiba dengan keras menyepak pantat Purwoko membuatnya sempoyongan dan meringis memegang pantatnya. Anak-anak tertawa tergelak.

"Aku nggak nendang kamu lho. Yang kutendang bokongmu," gelak si Budi sambil juga tergelak.

Betapa gurauan anak-anak itu sebenarnya menyiratkan pertanyaan yang fundamental bagi manusia. Pencarian jadi diri tentang "aku" tak akan pernah selesai bagi manusia. Usaha menemukan "Aku" mungkin akan terus menggelutinya hingga mati. Mungkin tak akan pernah diketemukan.

Hanya manusialah yang mempertanyakan dirinya. Hanya mahluk yang bisa berkomtemplasi mencoba mencari dirinya sendiri. Kesadaran tentang "Aku" bagi manusia memberi pertanyaan dan jawaban-jawaban abstrak yang mungkin manusia itu sendiri yang tahu lewat kedalaman, penghayatan dan pengalaman psikologisnya.

Kesadaran tentang "Aku" bagi manusia dewasa tak sesederhana sebagaimana anak kecil dalam bermain jumpritan di atas. Kesederhanaan berpikir anak-anak dalam mempertanyakan "Aku" diselipkan dalam sebuah permainan dan diselingi gelak tawa.

Manusia dewasa dalam waktu-waktu tertentu dengan kesadarannya mempertanyakan "Aku"-nya dan bergelut dengan refleksi dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan menukik ke kedalaman hati dan pikiran pribadi masing-masing. Jawaban yang diperoleh tergantung dari kesadaran dalam menjalani hidupnya sendiri.

Cogito ergo sum, kata Descartes. Aku berpikir, maka aku ada. Pernyataan yang nampak senderhana ini seperti menggulung hidup dalam sebuah lipatan kecil. Sejauh mana lipatan itu bisa dibuka tergantung masing-masing orang. Ada yang bisa membuka cuma beberapa lipatan hingga banyak lipatan yang terjabar lebih luas.

Kepanjangan Aku

Ketika si Budi memegang tangan si Purwoko, apa yang dipegang adalah kepanjangan dari "Aku". Bagian bentuk fisik bagian kecil dari "Aku". Meski hanya sebagian kecil saja dari "Aku" kadang manusia menafsirkan dengan salah bahwa itulah cerminan "Aku"-nya.

Demikian juga pundak, bahu, dada, kepala, kaki, pantat dan seterusnya. Tubuh adalah bagian kecil saja yang secara materi bisa diraba dari keseluruhan "Aku" yang luas tak terbatas dunia metafisiknya.

Namun dalam peradaban yang lebih menitik-beratkan dunia materi ini, kepanjangan "Aku" bermetamofosa seolah menjadi "Aku" itu sendiri. Orang pun menghiasi tangannya agar "Aku"-nya nampak indah. Karena materi lebih bisa diukur harganya, maka makin mahal harga seolah "Aku" juga makin baik. Orang pun sibuk mendadani kepanjangan "Aku" dengan segala asesoris gemerlap. Makin gemerlap seolah makin berarti, makin eksis, makin dihargai, makin percaya diri, hidup makin terasa berarti.

Ketika tubuh tak lagi memuaskan penampilan "Aku" maka meluas ke benda materi lainnya. Seolah dengan dunia materi lainnya itu simbol dari kepanjangan "Aku" juga. Mobil mewah, rumah mentereng, tanah berhektar-hektar, isteri lebih dari satu, jabatan terhormat dan seterusnya. Kalau kurang dana, bisa korupsi.

Pilihlah "Aku" ketika kampanye pemilu tiba. Partai politik pun jadi kepanjangan "Aku". Karena berhubungan dengan masalah ekspresi "Aku", maka tak segan-segan menempuh segala cara termasuk dengan main bual, main tipu, main ancam, main sogok dan seterusnya asal "Aku" terpilih.

Ketika semua kepanjangan dari "Aku" itu dipreteli dan masuk penjara, lalu tiba-tiba disadari bahwa kini tidak punya aku lagi. Keterlupaan datang terlambat. Aku yang sebenarnya adalah ada di dalam dan tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang ada di luar. Ia kini merasa kosong. Materi kepanjangan akunya begitu gampang dirampas orang.

Ketika dihempaskan dan dihadapkan pada aku sebenarnya, pemahaman tidak diperolehnya. Akhirnya tidak diperoleh keseimbangan diri. Maka kesadaran waktu, tempat dan ruang tidak bisa dicerapnya. Akibat berikutnya adalah gila dan kesadaran tentang akunya menguap entah ke mana. Manusia tanpa kesadaran atas waktu, ruang dan tempat sama saja sekelas dengan binatang. Tidak punya lagi roh. Tidak lagi punya kesadaran.*** (HBS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun