Ibu pernah mengadopsi kucing nenek yang sayangnya cuma bertahan selama tiga hari di rumah. Kucing kecil yang imut nan penurut itu hilang tak berkabar dan setelah beberapa hari baru tahu kalau kucing itu ternyata telah mati. (Jangan tanya karena apa!)
Tiga hari memelihara kucing yang imut nan penurut itu akhirnya membuat kami ingin sekali memelihara dua kucing lagi selepas menyusu dari induknya yang kami adopsi dari kerabat yang telah rela kami bawa pulang kucing-kucing itu.
Lalu selama memelihara dua kucing ini dalam kurun dua bulan terakhir, membuatku memikirkan beberapa hal. Pertama, tidak ada yang abadi di dunia ini.
Pada hari pertama mengasuh kucing nenek, tidak ada seorang pun dari kami yang membayangkan bahwa ia akan menghilang dalam tiga hari. Tidak pernah pula membayangkan bahwa ia akan mati dengan cara yang menggenaskan.
Makanya perasaan kehilangan itu begitu amat terasa. Tidak ada satu orang pun dari kami yang siap menerimanya. (Apakah ini perasaan yang wajar?)
Bukankah itu juga berlaku dengan apa dan siapa saja yang berada di sekeliling kita saat ini?
Sering kali kita mendapat kabar bahwa seorang kerabat berpulang ke Rahmatullah dan merasakan kenelangsaan yang sama--seolah-olah itu adalah template perasaan yang ke permukaan pikiran secara otomatis dalam kondisi tertentu.
Apakah kita sedang lupa bahwa tidak akan ada yang benar-benar bisa menjamin seberapa lama kebersamaan satu sama lain. "Kita akan bersama selamanya" atau "Aku tidak akan pergi darimu" adalah kata-kata yang entah kenapa bisa kita percayai padahal kita sadar betul bahwa apapun itu adalah kesementaraan saja termasuk hati manusia yang tak ubahnya seperti cuaca.
Hal yang paling masuk akal yang bisa kita pikirkan adalah bahwa meskipun tidak ada jaminan bahwa esok atau lusa kita masih akan bersama-sama, setidaknya kita melakukan hal yang terbaik yang kita bisa lakukan untuk hari ini.
Maka dari itu, jika sewaktu-waktu satu per satu orang-orang di sekitar meninggalkan kita atau berlaku sebaliknya kita yang justru meninggalkan mereka.
Maka kita sama-sama bisa berkata bahwa "Sejauh ini kita telah melakukan hal terbaik yang kita bisa bagi satu sama lain. Terima kasih banyak atas kebersamaannya selama ini. Aku berharap kamu bisa melakukan yang terbaik juga bagimu di tempat dan kepada orang yang baru. Jangan pernah lupakan satu sama lain."
Lalu kita sama-sama melambaikan tangan seraya tersenyum (karena perpisahan sebenarnya tidak layak kita tangisi).
Kedua, kucing-kucing memanglah benar-benar makhluk yang peka. Jika aku berbaring sambil memikirkan sesuatu, ia akan datang mengelus-ngeluskan kepalanya dan tidur di atas perutku. Seolah-olah ia memang tahu bahwa aku sedang butuh ia ada di situ.
Jika aku sedang merenung di atas tangga, maka ia juga lah yang akan menghampiri yang walaupun tanpa mengatakan apa-apa aku tahu aku sedang dipedulikan (oleh seekor kucing). Dan perasaan diperhatikan dan dipedulikan itu rasanya memanglah teramat mewah.
Aku pernah sedang sendirian di sebuah ruangan. Sendirian pada dasarnya adalah makanan pokok yang sering kali kuagung-agungkan pada sesiapa dan yang sebenarnya juga malu-malu kuakui bahwa sendirian itu rentan mengundang perasaan kesepian yang akut. Lalu beberapa anak-anak datang dengan senyum sumringah--tanpa kuundang.Â
Ya Tuhan, senyum itu benar-benar untukku (ucapku dalam hati). Di tengah-tengah gelombang perasaan kesepian itu, ia seperti bahtera Nuh--penyelamat orang-orang yang hampir tenggelam. Dan setelahnya aku tahu bahwa aku bisa melakukan apa saja hanya karena dan untuk senyuman-senyuman itu.Â
ku tentu harus membayar senyuman-senyuman yang tulus itu dengan sesuatu yang sepadan (walaupun sebenarnya tidak akan pernah ada yang sepadan dengan itu).
Aku menemukan persamaan antara anak-anak dan kucing-kucing itu (jangan artikan ini dalam sudut pandang negatif!). Keduanya sama-sama adalah makhluk yang dibekali dengan kepekaan yang luar biasa dan sama-sama bisa diajak bicara--sebenar-benarnya bicara--tanpa kata-kata.
Orang-orang dewasa teramat rentan tenggelam dalam kata-katanya sendiri. Sering kali karena ia merasa telah memiliki kata-kata, maka ia sewaktu-waktu menggunakan kata-kata itu sebagai tameng, pedang, topeng, dan bahkan sebagai racun bagi satu sama lain.
Aku tidak tahu apakah kalian pernah merasakan ini...
Aku pernah meyakini sesuatu hal, lalu bercerita kepada orang-orang tentang sesuatu hal yang aku yakini itu. Kemudian tepat setelahnya aku didera perasaan yang teramat menggelisahkan bahwa yang selama ini aku yakini itu aku malah sedang meragukannya tepat setelah bicara tentangnya.Â
Oh Tuhan, kata-kata ternyata juga punya kekuatan yang luar biasa untuk membuat kita meragukan banyak hal, termasuk diri kita sendiri. (Ataukah kata-kata pada dasarnya memang diciptakan salah satunya adalah untuk membuat diri kita meragukan segala hal?)
Masih bersama kucing-kucing yang sedang bermain-main dengan ujung celana panjangku, aku melihat cermin. Di suatu pagi yang sangat cerah, kepada bayangan yang muncul di cermin itu, aku berkata "Apakah engkau masihlah diriku yang kupikir selama ini adalah aku?"
Akhir-akhir ini aku sering sekali bertanya kepada orang-orang di sekeliling tentang apakah aku cantik (setelah mengubah sedikit penampilan). Pertanyaan receh yang diulang-ulang secara terus menerus seperti pada akhirnya membuatku teriritasi sendiri (apakah aku terlalu kejam menghakimi diri sendiri?)
Aku baru saja membaca sebuah artikel tentang mengapa seharusnya kita tidak memuji kecantikan seorang anak gadis meskipun kita ingin sekali.
Pujian yang kita ucapkan secara tidak bertanggung jawab itu pada akhirnya membuat gadis itu merasa bahwa kecantikannya jauh lebih berharga ketimbang hal-hal yang lainnya.Â
Padahal jika kita lebih memilih memuji kemampuan bicaranya, pola pikirnya, kesantunannya, ia bisa saja mendapatkan konsep lain bahwa kecantikan itu sejatinya adalah hal-hal yang datang dalam dirinya bukan secara fisik yang sifatnya hanyalah sementara.
Makanya dengan mempertanyakan apakah aku cantik secara fisik, itu artinya aku sedang mendahulukan hal-hal bersifat fisik ketimbang intelektual, kesantunan dan hal-hal lain yang datangnya dari dalam diri.Â
Aku bercerita tentang kegelisahanku ini kepada pacarku dan ia hanya bilang mengapa perubahan-perubahan itu tidak diterima saja. Tetapi aku tetap ingin bangga akan intelektualitas ketimbang kecantikan fisik, sahutku.
Yaudah dua-duanya saja, katanya. Dan aku paham poin darinya adalah untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih sederhana.
Ketiga, alasan mengapa kita menyukai kucing atau hewan-hewan peliharaan (dan juga anak-anak) adalah karena di dekat mereka kita merasa dibutuhkan, dirindukan.
Jika kucing-kucing itu lapar, maka mereka akan mulai mengeong dan melambaikan tangan depannya di tanganku seraya memberiku tatapan memelas yang begitu penuh godaan. (Anak-anak pada dasarnya sama).
Jika aku baru pulang dari bepergian, di manapun mereka berada jika kupanggil dari teras tak kurang dari lima detik mereka datang menghampiri. (Oh Tuhan, ketakhadiranku dirindukan).
Dan aku tidak tahu sebelumnya bahwa ternyata kita sedahaga itu untuk merasa dibutuhkan dan dirindukan. (O, apa jadinya dunia tanpa kucing-kucing dan anak-anak?)
Keempat, bahwa ada yang lebih powerful dari cinta yang berupa kata-kata.
Karena anak-anak dan tentu saja kucing-kucing tidak suka menyatakan cinta secara lisan (seperti pacar-pacar yang ada di seluruh penjuru dunia LOL), maka baik anak-anak maupun kucing-kucing menyatakan perasaannya lebih banyak melalui bahasa tubuh dan sorot mata. Dan itu sesungguhnya jauh lebih apa adanya dan bisa dipercaya ketimbang lisan dari lidah tak bertulang.
Kemarin aku menonton satu dari sekian video sehari-hari tentang diriku yang direkam pacarku selama kebersamaan kami dan menyadari bahwa dari beberapa tahun silam hingga sekarang aku juga sering merekam aktivitas anak-anak dengan cara yang persis sama.Â
Makanya kubilang pada pacarku bahwa aku tahu dengan perasaan macam apa ia merekam semua video-video itu.
"Memangnya apa?" sahutnya sambil malu-malu manja.
"RAHASIA", jawabku seketika.
Dan karena dia manyun makanya segera kusambung, "Apapun itu, sesungguhnya ia jauh lebih powerful ketimbang cinta yang diucapkan dengan kata-kata." (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H