"Rian ...." Tepat saat membuka pintu kamar, kudengar kau memanggil.
Aku pura-pura tidak mendengarnya.
Sejak malam itu dan seterusnya, persepsiku tentang sate kambing tidak akan pernah sama lagi.
***
"Dik."
"Dik."
Seseorang mengguncang-guncang bahuku. Sontak aku terbangun. Ia adalah lelaki yang mengobrol denganku tadi.
"Kereta telah menepi di stasiun terakhir," lanjutnya.
"Terima kasih, Kak."
Aku mengikuti penumpang lainnya yang bergegas menurunkan barang bawaannya dan mencari pintu keluar. Di depan stasiun aku duduk di atas trotoar. Sebenarnya aku tidak tahu hendak ke mana setelah ini. Biasanya pada jam-jam ini aku memasak makan malam untuk ibu yang baru tiba di rumah. Meskipun tidak setiap waktu berjumpa, tetapi kami selalu makan bersama kapan pun ada kesempatan.
Tidak pernah sekalipun aku mengeluh karena aku yang harus memasak, membersihkan rumah dan mencuci---semua hal yang biasanya dikerjakan seorang ibu. Walau tidak pernah sekalipun mencicipi masakanmu, aku merasa bisa memahaminya. Kau sudah lelah bekerja seharian untuk menghidupi kami. Aku sudah merasa cukup dengan kenyataan bahwa kau masih ada untukku pada saat makan malam.
Tetapi laki-laki itu, hanya dalam waktu beberapa minggu saja, membuatmu dengan sukarela bangun pagi-pagi sekali untuk memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Dan kau melakukannya sambil berdendang---sesuatu yang tidak pernah sekali pun dilakukan olehmu kepadaku.