Seketika aku merasa dada kiriku sesak.
Maafkan aku Ibu.
Tak lama seorang lelaki berkulit cokelat tua dan berkumis menyela obrolan kami sambil menunjukkan tiketnya. Ia adalah tuan dari kursi yang sedang ditempati oleh lelaki yang mengobrol denganku tadi. Lelaki itu akhirnya pindah ke bangku kosong yang berada di depannya---tempat duduknya yang sebenarnya.
Sama sepertiku tadi, ia lalu menawarkan camilannya yang lain untuk penumpang baru itu. Pada saat itu aku merasa lega karena tidak harus mengobrol dengannya lagi. Jadi aku menyalakan kembali ponsel dan menaikkan volume musik dan kembali melemparkan pandanganku ke luar jendela. Pikiranku lantas memutar peristiwa beberapa minggu yang lalu.
Saat itu kami bertiga berada di ruang tengah. Di luar rumah hujan rintik-rintik. Suara titik-titik di atap berpadu dengan tik-tik jam tangan yang baru saja kau berikan padaku---yang ternyata adalah pemberian laki-laki itu. Kau dan ia duduk berdampingan di hadapanku. Tanganmu merangkul lengan laki-laki itu sambil sesekali saling menatap.
Aku sedang memegang salah satu tangkai sate dan menggigit seinci dagingnya. Kulihat kau juga mengambilkan satu tangkai sate dan menyuapi laki-laki itu.
"Om Ardhi ini juga penggemar sate kambing sepertimu, lo," ucapmu.
Aku diam saja. Tepat setelah itu ... rasanya aneh sekali, seingatku aku selalu menyukai sate kambing yang dibelikan olehmu---jika kau tidak berinisiatif untuk membelikannya maka aku akan merengek padamu untuk dibelikan keesokan harinya, tetapi hari ini sate kambing yang dibelikan olehmu terasa sangat-sangat asam dan pahit.Â
Aneh sekali melihat laki-laki yang kau kenalkan sebagai Om Ardhi itu begitu lahap mengunyahnya. Oleh karena itu setelah mengunyah satu inci daging tadi, aku mengembalikan tangkai sate yang kupegang ke tempatnya semula.
"Aku pamit mengerjakan PR dulu. Terima kasih atas makan malamnya."
Aku membalikkan badanku dan berjalan menuju kamar.