Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mi Goreng

10 Oktober 2018   13:03 Diperbarui: 10 Oktober 2018   13:22 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namun lagi-lagi yang kupikirkan justru adalah bagaimana jika aku mati nanti. Kuhentikan menulis dan terus membayangkan kalian satu demi satu.

Barangkali Adik pagi-pagi sekali akan bangun dan mendapati sisi yang biasanya ia tempati dalam keadaan kosong. Ia barangkali akan berpikir tidak biasanya aku bangun lebih dahulu sebab aku memang selalu tidur lebih telat. Ketika ia membuka pintu  kamar dan hendak melangkah menuju dapur, di ruang tamu ia akan menemukanku telah menggantung diriku sendiri dengan menggunakan tali tambang yang ia tidak tahu aku dapatkan dari mana. Saat itu, ia barangkali ingin berteriak tetapi lidahnya terlalu kelu dan kedua lututnya begitu lemas dan ia terjatuh, lalu kepalanya tiba-tiba pusing dan semuanya menjadi gelap. Wajar saja, itu pertama kalinya ia mengalami kejadian yang seperti itu.

Ayah dan ibu pun mestilah punya reaksi yang serupa dengan adik. Terkejut sampai tidak tahu hendak mengucapkan apa. Orang-orang di sekitar rumah akan melakukan hal yang memang selalu dilakukan ketika ada seseorang yang meninggal---memandikan jenazah, mengafaninya, menyolatinya hingga menguburkannya. Dan selain isak tangis, di sela-sela proses itu pastilah juga terselip beberapa gunjingan di sana-sini tentang kematian yang kupilih sendiri itu.

Lalu, teman-temanku .... Ah, yang ini jangan ditanya. Kau tahu aku tak punya banyak teman.

Dan kau---di rumahmu yang tidak jauh dari rumahku---saat itu baru saja hendak berangkat ke sekolah. Ponsel bundamu bergetar. Seorang kerabat---yang adalah ayah atau ibuku atau mungkin juga tante yang tinggal di sebelah rumahku---menelepon dan hendak mengabarkan bundamu bahwa aku ... meninggal dunia pagi itu.

Agar tidak salah dengar, kau yang mengangkat telepon saat itu, menanyakan hingga tiga kali. Karena mendapatkan jawaban yang sama seketika kau merasa begitu lunglai. Ponsel yang kau genggam tadi sudah jatuh entah ke mana.

Kau bertahan cukup lama dalam posisi bersandar di daun pintu kamar. Berkali-kali kau mencoba memanggil bundamu, tetapi sekeras apa pun mencoba kau tetap tidak dapat mendengar suara apa pun yang keluar dari tenggorokanmu. Sampai bundamu sendiri yang menghampirimu dan menanyakan mengapa kau mendadak pucat dan lemas seolah habis melihat hantu, tetapi tak juga bisa kau mengatakan barang sepatah dua kata.

Ponsel lalu berdering kembali. Bundamu meraihnya, ia jatuh tidak jauh dari kedua kakimu. Saat itu raut wajah Bunda berubah menjadi sangat serius sementara kau tidak bisa memikirkan apa-apa lagi selain bertanya-tanya sendiri tentang mengapa aku melakukan itu.

"Awas saja jika bertemu nanti, akan kuomeli kau, Kak...," barangkali inilah yang akan terbersit dalam pikiranmu kala itu.

Namun tepat setelah memikirkan itu kau merasa begitu pilu. Pilu yang tidak akan dapat kau jelaskan dengan kata-kata sebanyak apa pun.

Sesampainya di taman olahraga kau menghindari kontak mata denganku dan aku pun sebenarnya tidak sedang ingin berdebat soal apa pun denganmu hari itu. Sejujurnya aku memang hanya ingin keluar entah ke mana saja---kebetulan yang terpikirkan ketika kau bertanya hendak ke mana adalah taman olahraga itu. Dan pergi sendirian akan teramat menyedihkan rasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun