Karena tahapan pembelajaran semester lalu, cara berpikirnya adalah mentor mengajarkan atau mendemonstrasikan sesuatu kemudian mereka melakukan tanya jawab dan akhirnya mencontohkan apa yang telah dipelajari. Mengapa tidak semester ini paradigmanya ditingkatkan menjadi level dua, yaitu mentor bersama-sama mereka mencari-cari ide cerita, tari kreasi atau demonstrasi sainsnya terlebih dahulu dari berbagai referensi, bisa dari membaca buku, menonton video-video edukatif kemudian mereka mencoba membuat cerita, gerakan tari atau demonstrasi sainsnya sendiri dan yang terakhir membuat video bersama-sama.
Saya terinspirasi dari seorang Sugata Mitra yang dalam sebuah film dokumenter yang berjudul Future Learning mengatakan bahwa kita sedang menyiapkan anak-anak hari ini untuk masa depan, sebuah dunia yang tidak kita ketahui. Untuk itu, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan, yaitu mengajarkan siswa caranya membaca, caranya mencari informasi dan cara untuk percaya.
Saya ingin paling tidak menyiapkan dua dari tiga hal yang ia gagaskan itu pada anak-anak yang datang ke TBM. Saya hendak memberikan mereka paradigma baru, bahwa belajar tidak selalu datang ke sekolah, mendapatkan ilmu pengetahuan dari guru-guru, menghafalnya dan menjawab deretan soal ketika ujian melainkan dapat dilakukan di mana saja, kapan saja dan diperoleh dari siapa saja. Dan bahwa kehidupan itu bukan hanya soal menamatkan sekolah, bersegera bekerja dan menikah melainkan ada pula passion yang layak untuk diburu.
Kedua, siapa bilang bahwa saya selalu bergembira ketika mengelola TBM?
Suatu hari anak-anak bertanya perihal mengapa saya mendirikan TBM. Saya mengatakan bahwa saya hanya ingin kalian membaca. Namun di belakang mereka, di dalam pikiran saya sendiri saya mengatakan bahwa yang demikian itu karena saya ingin bahagia. Berbahagia dalam definisi saya adalah bergembira dalam melakukan sesuatu, apapun itu. Apakah saya akhirnya dapat selalu gembira? Tidak. Emosi seorang manusia selalu naik dan turun. Ada kalanya saya menjadi sangat bersemangat dan ada kalanya pula saya hampir ingin menyerah.
Saya merasa sangat bergembira ketika anak-anak bersemangat membaca buku sebab ada donatur yang menyumbangkan buku-buku baru atau ketika anak-anak yang selama ini belajar, berlatih menari dan storytelling akhirnya mendapatkan prestasi yang bagus di sekolah dan dapat tampil di sebuah acara.
Pada masa sekarang, saya melakukan evaluasi pada setiap anak-anak yang mengikuti setiap kegiatan beberapa bulan belakangan dan mengamati perubahan apa yang tampak dari mereka. Beberapa memang tidak begitu terlihat apakah pengaruhnya memang hanya dari kegiatan TBM sebab datangnya tidak terlalu rutin. Namun ada pula beberapa yang rutin mengikuti setiap kegiatan, perbedaannya sangat terlihat. Misalnya saja, Nisa dan Nami yang pada mulanya berada di kelas 6 dan 1 SD.Â
Saat itu, pada waktu pertama kali agenda membaca puisi digelar, mereka tidak memiliki keterampilan baca yang baik dan masih terkesan malu-malu. Saat ini jika mereka di suruh membaca puisi, mereka dapat melakukannya dengan baik. Ada pula Zacky, Viroza dan Jeny yang menemukan tempatnya untuk berlatih tari, membaca dan membuat puisi. Viroza dan Jeny memiliki bakat menulis puisi sedangkan Zacky, ia ternyata memiliki bakat sebagai pembaca puisi dan menari lebih dari yang lain. Lebih dari itu ia pun bisa memikirkan gerakan tarinya sendiri. Ia hanya butuh persetujuan kami sebagai mentor untuk memastikan bahwa ia melakukan hal yang tepat. Adapula Aditya yang saat ini duduk di kelas 3 SD, ia ternyata bisa menulis puisi dan cerita lebih baik dari yang lain. Dan Ulan pada semester lalu menduduki peringkat empat dari yang sebelumnya tidak ada peringkat di sekolah.
Dalam suasana yang santai, saya menanyakan perihal apa yang mereka dapatkan dari belajar di TBM. Secara umum yang berubah adalah bahwa mereka menjadi lebih berani dan percaya diri dari sebelumnya. Saya mengatakan pada mereka bahwa keberanian dan rasa percaya diri yang mereka tunjukkan kepada saya juga semestinya ditunjukkan kepada khalayak di manapun. Mengingat-ingat hal yang demikian dan membaginya umpan balik ini dengan para mentor membuat kami merasa bahwa apa yang kami lakukan selama ini berarti.
Namun, ada pula saatnya saya merasa gamang misalnya saja ketika saya melakukan demonstrasi lava di hadapan anak-anak sekolah dasar. Demonstrasi itu membutuhkan air, minyak dan adem sari serta gelas sebagai perlengkapannya. Dan seperti demonstrasi-demonstrasi lainnya, ini tentu memakan dana. Setidaknya saya menghabiskan lima ribu rupiah untuk hari itu.Â
Secara teori, saya bermaksud secara umumnya ingin menunjukkan betapa menariknya sains itu yang secara biaya, bagi saya itu sudah diminimalkan. Secara khususnya ingin memperlihatkan bagaimana cara kerjanya lampu lava yang sedang hits dan sekaligus memberi cara alternatif yang jauh lebih murah untuk menciptakan sensasi yang sama. Dan pada akhirnya mereka akan belajar tentang konsep dan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari.