Bukan pertama kalinya ia pergi ke pasar tumpah yang letaknya tak jauh dari satu-satunya stasiun di kota Lubuklinggau—kota kelahirannya—pagi-pagi buta. Dulu ia sering sekali menemani ibunya menunggu mobil dari Curup yang penuh dengan orang-orang yang mengangkut berkarung-karung sayuran tiba di sana. Hampir setiap hari ketika libur sekolah. Kala itu ia masih kelas satu SMP. Rambutnya sepinggang dan berponi. Meskipun tidak mudah membangunkannya, ibunya selalu berbisik akan membelikannya buah jika ia ikut.
“Belikan aku es krim juga ya, Bu!” Seperti biasa ia menawar sajennya lagi.
Tak selang dua detik ibunya mengangguk serupa ujung-ujung batang yang tertiup angin kencang sehari sebelumnya. Pelan dan berat. Waktu itu ia belum bisa membedakan makna dari bermacam-macam jenis anggukan. Ya adalah ya. Tidak adalah tidak. Dunianya masih matematis—pasti—dan tanpa filter. Terlepas dari apapun yang ibunya pikirkan saat itu, transaksi pertama yang selesai kilat pun sudah dipilihnya.
Lima ratus meter dari stasiun, sementara ibunya menawar sekarung tomat kepada salah satu orang yang baru saja keluar dari mobil L-300 yang baru saja tiba, dia merasa pipinya diuli bagai adonan pempek oleh tangan ibunya. Terbayang olehnya wajah baru bangun tidur yang serupa puzzle belum tersusun itu akan makin berantakan penampakannya.
“Biarlah,” pikirnya.
Orang-orang di sekitarnya pun tidak semuanya memperhatikan hal-hal yang seperti dia pikirkan. Yang paling dekat dengannya adalah orang yang sedang bertransaksi dengan ibunya. Ia sedang sibuk membuka karung dan menunjukkan menara tomat berbungkus karung setinggi satu meter yang atasnya terlihat sebagian kecil yang rupanya masih merona jambu serupa pipi seorang gadis yang tersipu-sipu malu. Beberapa yang lain juga sibuk dengan karungnya masing-masing.
Satu karung kol, satu karung sawi, satu karung cabai merah dan juga cabai rawit, satu karung mentimun dan lain-lain. Sisanya orang-orang yang bergantian lalu-lalang, sedikit yang memperhatikan, lalu sedetik kemudian tersenyum tipis sambil berlalu. Ada juga yang melambaikan tangannya sambil melirik ibu yang kedua matanya masih saja terfokus pada tomat dan teman transaksinya. Sementara itu di seberang jalan, stasiun tampak sepi dan hening, belum ada gaung mesin lokomotif kereta atau pluit masinis. Memikirkan itu, ia membayangkan rumahnya yang juga masih sepi dan hening sebab adiknya—satu-satunya sumur keramaian—sudah dipastikan masih tidur pulas di tempat tidurnya sekarang. Tidak pernah tidak.
Jemari ibu sudah lepas dari wajahnya serupa dua Amoeba identik yang tadinya membelah diri masa lalunya. Ibu menariknya ke samping kanan karena ingin mengambil dompet yang terselip di pinggang. Jika sudah begini, itu artinya transaksi kedua ibunya hari ini sudah mendekati garis finish. Ibu melirik tepat ketika dia tersenyum. Namun, sebelum sempat terlalu kembang, ibu bilang padanya masih butuh satu karung lagi, jadi dia seketika itu membanting kedua bibirnya kembali ke posisi kesetimbangan.
Terbayang di benaknya jika sebentar lagi, ibu menggelar karung sebagai alas dan terpal sebagai atap yang ditiangi bambu, tomat akan disusun limas, di sampingnya adalah sebukit kecil cabai merah yang baru saja ditawarnya dari pedagang lain ini, lalu sedikit kol dan kacang panjang sisa dagangannya kemarin. Orang-orang yang lalu lalang di hadapannya akan melirik, jika tertarik memegang barang sebutir dua butir tomat atau cabai, jika tergoda akan menanyakan dan menawar harga, jika dirasa pas di mata, pas di hati, pas di kantong pembeli maka transaksi ibu akan sukses. Untuk kol dan kacang panjang—seperti halnya setiap dagangan sisa—ibu memberikan diskon bagi yang membeli dan jika masih bersisa maka bisa dipastikan keesokan harinya tumisan kol atau rebusan kacang panjang akan menjadi salah satu yang disajikan ibu.
***
Dia kini sudah berusia 25 tahun. Meskipun orang-orang meragukan kecakapannya memasak dan benar bahwa dia sering lupa bumbu-bumbu untuk jenis masakan tertentu karena diakunya pula bahwa memasak bukan kegiatan sehari-harinya, tetapi sebenarnya dia pandai meramu rasa masakan. “Kalau lupa kan tinggal googling,” belanya kepada setiap yang menggoda. Ibunya—seperti ibu-ibu pada umumnya—pernah memberikannya pelatihan khusus memasak.
Karena ketika masa sekolah tiba ibu dan ayahnya hanya ingin dia punya banyak waktu untuk belajar, biasanya diberikan hanya ketika dia sedang dalam masa liburan sekolah. Dia masih ingat masakan pertama yang diajarkan adalah membuat sambal hijau. Pertama-tama ibunya menyuruh mengupas setengah siung bawang merah, beberapa bawang putih lalu membuang tangkai segenggam—milik ibunya—cabai hijau. Lalu setelah mencucinya dengan air mengalir, cabai ditaruh di penggilingan dengan ditaburi sedikit garam. Dia bertanya perihal garam itu kepada ibunya.
“Agar mudah kerjamu, Nak.” Jawab ibu singkat.
Setelah itu bawang merah dan putih ditambahkan pula ke penggilingan. Seketika matanya panas dan berair tapi terus digilingnya sampai selesai meski harus sambil mengelap mata yang tak mau berhenti basah dengan kaos bagian punggung tangannya. Ibu baru saja selesai menggoreng ikan asin beledang di kuali. Lalu dituangkannya ikan asin beserta minyak itu ke atas cabai dan bawang yang sudah digilingnya tadi.
“Aduk!” perintah ibunya.
Dia menuruti.
“Beri sedikit gula.” Lanjut ibunya lagi.
Dia mengambil sedikit gula dan menaburinya sambil terus mengaduk sambal di atas penggilingan. Dengan menggunakan ujung jarinya dia merasai sambal setelah terlebih dahulu mencoleti sambal yang dia ambil dengan menggunakan sendok.
“Ibu, sudah pas,” katanya.
Ibunya merasai sambal dengan protokol yang sama seperti yang dia lakukan tadi. Lantas siapa yang mengikuti dan diikuti? Kecil kemungkinan ibu yang mengikutinya. Ibu hidup lebih lama dibandingkan anak dan ibu sudah berada dalam usia dimana ia tidak lagi punya kecenderungan mengikuti perilaku orang lain. Protokol yang sama itu sebab dia yang sebelumnya sering memperhatikan ibunya memasak. Kebiasaan semacam itu akan mudah diikuti walau baik yang mengikuti dan yang diikuti pun sama-sama tak sadar apalagi memikirkan.
Beberapa menit setelah ibunya menyepakati rasa sambal itu dan memuji hasil kerjanya, ada sejumlah ketidaknyamanan yang bersarang di jemarinya. Setelah berpikir sejenak dia menyimpulkannya sebagai panas dan perih. Ibunya bilang itu karena air dari biji cabai yang mencipratinya ketika menggiling cabai dengan batu.
Ibu menyuruhnya untuk mencuci tangan dengan sabun, lalu mengolesinya dengan minyak. Diturutinya tanpa menawar. Tetapi karena tidak kunjung berkurang, ibu mengeluarkan jurus lain yang tak kalah unik—bagi seorang anak SD yang baru belajar memasak—yaitu memasukkan jemari ke dalam karung beras. Panas dan pedih membuat sensasi dingin yang diberikan beras pada jemarinya terasa sangat luar biasa. Karena itu dia tidak ingin jauh dari teman barunya itu—sekarung beras.
Neneknya yang baru saja bertandang ke rumahnya heran melihat pemandangan yang tidak biasa itu. Barangkali tidak demikian jika nenek melihat episode ini dari permulaan. Namun karena hanya sepotong adegan ini saja yang menggantung di pikirannya—akibat tanpa sebab—pada tahap ini nenek dan juga kebanyakan orang akan mempersingkat perseteruan pikirannya dengan mengajukan pertanyaan alih-alih berasumsi ini dan itu. Ibu yang segera menjawabnya—sambil terus mengaduk-aduk nasi setengah matang dalam periuk di atas kompor—bahwa dia baru saja resmi menjadi gadis rumah itu karena sudah bisa memasak sambal hijau. Tangannya panas dan perih karena jemarinya kecipratan air dari biji cabai ketika menggilingnya.
Dia tersenyum dengan memperlihatkan barisan gigi depannya yang besar-besar dan belum lengkap. Tak bisa ditahan bahagianya karena telah berhasil memasak sambal hijau tersebut. Ibu mengakuinya, nenek—yang bilang bahwa dia adalah cucu kesayangannya—sudah pasti akan mengakuinya lebih dari itu. Bisa dia tebak nenek akan memeluk dan mencuri cium pipi kanan dan kirinya.
Kala itu jemarinya tertarik keluar dari karung beras. Dan karena panas dan pedih itu datang menyerang lagi, dia urungkan menghapus cap bibir nenek tetapi segera memasukkan jemarinya lagi ke karung beras. Tak sampai semenit, ibu memanggilnya untuk menyiapkan sajian makan siang. Wajahnya sedikit merengut tapi tetap menjauh dari karung beras itu sambil mengibas-ibaskan jemarinya di udara—upaya meringankan panas dan perih karena air biji cabai—untuk mengambil taplak meja dari dalam almari dan membentangnya di depan televisi.
Dia mengambil 5 piring, untuk ayah, ibu, adik, dan neneknya serta dirinya sendiri. Sendok dan gelas pun dihitungnya sama dengan jumlah piring. Ditatanya rapi sebakul nasi, tak lupa sambal hijau yang dihidangkannya dengan rasa bangga itu kemudian menyusul rebusan sayur, ikan sarden goreng dan air kobokan yang dibawa ibunya. Setelah satu jam berlalu, dia melihat mangkuk sambalnya bersih. Rupanya, keluarganya tahu benar cara membuat semangat memasaknya terus membara. Tidak sekedar pujian yang dilisankan selama makan siang bersama itu saja tetapi mangkuk sambal yang bersih yang bisa menjelaskan lebih banyak kepadanya dari yang bisa dijelaskan kata-kata.
“Bahwa sambal buatanku benar lezat,” Simpulnya.
Di hari-hari libur berikutnya, dia belajar membuat berbagai macam jenis sambal lain yaitu sambal teri, sambal terasi, sambal nanas, sambal rebus, dan sambal-sambal lainnya. Berbagai jenis sayur tumis, yaitu tumis kangkung, tumis sawi, dan tumis-tumisan lainnya. Kemudian pindang ikan, pindang daging, rendang, sayur lodeh, sop ayam, sayur bening dan sebagainya. Tetapi dari semua yang dia pelajari, dia paling senang bening bayam buatan ibunya. Ayahnya pun begitu. Adiknya juga. Bening bayam biasanya disajikan dengan ikan goreng dan sambal terasi. Jika sudah begitu, suasana di altar makan akan membara dan pikiran setiap orang yang mengelilinginya adalah untuk menyapu bersih semua yang disajikan. Ia juga sama. Ia tidak ingin sampai tidak kebagian lagi karena kebiasaan makannya yang sering lambat bak putri—ini istilah yang sebenarnya mendiskriminasi semua putri. Akhirnya ketika semua piring yang tadinya berisi makanan bersih, sambil menurunkan makanan di perut, mereka akan mengobrol dan semua akan terasa komplit seusainya. Komplit di lidah, di perut dan di sana-sini.
***
Baginya, pasar tumpah itu tak banyak berubah meskipun dia sudah berubah banyak. Sudah lama ibunya berhenti berjualan karena kala itu ibu memutuskan untuk menjadi TKW ke negeri Jiran. Ayah sedang membangun usaha pembuatan batu bata kala itu. Ingatannya tentang pasar tumpah itu selalu bagian tepat ketika terakhir kalinya ia menemani ibunya berdagang sayuran sebelum berangkat ke Malaysia. Ketika pulang ibunya mengantungi setengah kilo apel dan setengah kilo jeruk di tangan kanannya lalu tangan satu lagi memegang dua buah es krim Conello rasa cokelat. Tak terbayang betapa bahagianya ia hari itu.
Buah dan es krim itu adalah kemewahan yang tidak bisa ia dan adiknya rasakan setiap hari—persis seperti momen ketika membeli baju baru kala lebaran tiba. Ia hampir tidak mampu mengklasifikasikan memori itu sebagai kenangan yang membahagiakan atau menyedihkan. Mengingatnya kadang membuatnya tertawa, kadang juga menitikkan air mata.
Tiga tahun kemudian ibu pulang ke rumah dan usaha ayah—tanpa disangkanya—sudah jauh berkembang meski tidak pesat. Ia, adik dan ayah memulai kehidupan baru bersama ibu. Uang hasil kerja sebagai TKW dimodalkannya untuk membuat usaha toko kelontong. Sejak itu kehidupan keluarganya meski tidak sekaya para pengusaha tetapi sudah lebih baik dari saat ibunya berjualan dulu. Ia lalu disekolahkan ke universitas—sesuatu yang dulu rasanya tidak mungkin—ketika adiknya saat itu masih duduk di bangku SMP. Beberapa tahun setelahnya mereka sudah pindah ke rumah yang baru berkamar tiga. Tidak lagi orang tuanya berbagi ruang kamar dengan ia dan adiknya yang disekat dengan triplek. Orang tuanya membeli rumah yang tidak jauh dengan toko kelontong ibu.
Lima puluh menitan sudah dia berjalan mengelilingi pasar tumpah itu. Di tas belanjaannya sudah ada cabai, ikan mas, bawang merah, bawang putih, bayam, jagung manis, wortel, tomat. Ia melihat-lihat sambil memikirkan apalagi yang harus dibelinya. Ia diam sejenak dan tampak berpikir keras. Rasanya tepat seperti hendak menyusun bangunan dari potongan-potongan lego yang kurang. Tetapi bedanya sekarang ia tidak tahu potongan apa yang kurang itu. Lalu di depan penjual bumbu dia melihat temu kunci dan seketika menemukan apa yang kurang itu.
“Eureka!” teriaknya diam.
Dia puas dengan belanjaannya saat itu dan memilih pulang setelah mengantongi dua jari temu kunci itu dalam tas belanjanya.
Sesampainya di rumah, dilihatnya adik masih tidak beranjak dari kasurnya. Dari pintu yang dia lihat adalah punggung yang berselimut. Kamarnya gelap, tirai jendela kamar rupanya tak juga dibuka. Berdiri beberapa menit di sana sambil memandanginya. Dia sedang bimbang mau memanggilnya atau tidak, mengingat ini sudah tengah hari. Tetapi diputuskannya untuk berlalu saja. Ingin ditengoknya pula kamar utama di rumah itu. Sebelum membuka pintu, dia menimbang-nimbang apakah akan membukanya atau tidak. Akhirnya diputuskannya untuk tidak membukanya.
Dia mengeluarkan belanjaannya dari tas. Ikan yang sudah diperutinya, dibumbui dan dipanggang di atas kompor. Sementara itu dia membuat sambal terasi sebelum kemudian dia mengupas wortel, mencucinya lalu memotongnya serong. Kemudian menyiangi bayam dan lalu mencucinya dengan air keran. Jagung manis dicucinya terlebih dahulu sebelum kemudian diberondolnya hingga yang tersisa hanyalah bongkolnya yang gundul. Dia membalikkan ikan yang dipanggangnya tadi. Kemudian diambilnya temu kunci, bawang merah, bawang putih, dan tomat. Temu kunci dikupasnya lalu di rendamnya di dalam semangkuk air.
Bawang merah dan putih yang telah dikupas pun direndamnya di mangkuk yang sama. Begitu pula tomat. Semua bumbu tadi diirisnya di atas tatakan. Kemudian karena dilihatnya ikan yang dipanggang tadi sudah matang, diangkatnya dari kompor dan menggantinya dengan panci yang berisi air. Dimasukkannya bumbu-bumbu yang telah diiris tadi, garam secukupnya dan sedikit gula. Kemudian dimasukkannya irisan wortel dan jagung manis. Ditunggunya hingga mendidih dan wortel serta jagung melunak. Kemudian dimasukkannya bayam. Setelah merasa rasanya cukup ketika mencicipinya dengan menggunakan sendok, dia segera mematikan kompor. Dia tidak ingin bayam—istilah populernya—overcook. Ibunya yang dulu selalu memperingatkannya akan hal ini. Saat itu tepat ketika perutnya usil bersiul. Untunglah nasi sudah dimasaknya sebelum dia berangkat tadi.
Beberapa menit kemudian semua yang dimasaknya sudah tersaji di hadapannya. Ayah dan adiknya belum juga move on dari tempat tidur.
“Makan sendiri lagi,” gumamnya.
Ia menaruh secentong nasi di piringnya sendiri, mengambil bagian ekor ikan, menyendok sambal terasi kemudian menuangkan kuah bening ke atas nasinya sambil diambilnya bayam dan jagung. Ia memang selalu melewatkan wortel. Tidak pernah suka rasanya. Tetapi anehnya tidak ada wortel dalam bening bayam, rasanya tak nikmat baginya. Seperti ada yang kurang.
“Wortel itu baik untuk kesehatan mata,” nasehat ibunya setiap kali. Sekarang juga begitu andai ibunya ada bersamanya di meja makan.
“Aku tahu”, bisikku.
Baru beberapa sendok ia menyuapkan nasi, ia merasa mual. Ingin disudahinya dengan menyisakan setengah bagian yang diambilnya tadi.
“Ah, sial,” kutuknya.
Sementara itu, ia berpikir alangkah baiknya jika makanan di atas meja ini bisa memprotes, mendemo dirinya karena gagal berselera. Menjadi seorang pemakan yang aniaya. Atau kursi dan meja yang bisa mengobrol dengannya. Menanyakan bagaimana pekerjaannya atau apakah ia bahagia. Dari pertanyaan yang remeh, yang sehari-hari, juga pertanyaan yang memerlukan pemikiran yang mendalam. Alangkah baiknya jika...
Pikirannya terus mengawang-awang entah apa jurusannya. Dan ia seperti sengaja tersesat di sana—entah di mana.
“Kami merindukanmu, Ibu.” Bisiknya lirih. Tepat ketika itu bola bening bergulir dari pinggiran mata kirinya dan seolah tak mau kalah satu matanya yang lain juga mengikuti berselang tak sampai sedetik setelahnya.
“Aku merindukanmu.” Bisiknya lagi sambil menenggelamkan wajahnya di atas tumpukan kedua tangannya di atas meja. Tiba-tiba. Gerakannya seperti menghempas, dan karenanya muncul riak-riak kecil air di dalam gelas di atas meja. Tetapi tak sedikitpun itu mencuri perhatiannya.
“Aku merindukanmu.” Bagai bola yang memantul di ruang pikirannya tanpa bisa ia tangkap dan tenangkan, menjadi satu-satunya gema yang meramaikan kepalanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H