Neneknya yang baru saja bertandang ke rumahnya heran melihat pemandangan yang tidak biasa itu. Barangkali tidak demikian jika nenek melihat episode ini dari permulaan. Namun karena hanya sepotong adegan ini saja yang menggantung di pikirannya—akibat tanpa sebab—pada tahap ini nenek dan juga kebanyakan orang akan mempersingkat perseteruan pikirannya dengan mengajukan pertanyaan alih-alih berasumsi ini dan itu. Ibu yang segera menjawabnya—sambil terus mengaduk-aduk nasi setengah matang dalam periuk di atas kompor—bahwa dia baru saja resmi menjadi gadis rumah itu karena sudah bisa memasak sambal hijau. Tangannya panas dan perih karena jemarinya kecipratan air dari biji cabai ketika menggilingnya.
Dia tersenyum dengan memperlihatkan barisan gigi depannya yang besar-besar dan belum lengkap. Tak bisa ditahan bahagianya karena telah berhasil memasak sambal hijau tersebut. Ibu mengakuinya, nenek—yang bilang bahwa dia adalah cucu kesayangannya—sudah pasti akan mengakuinya lebih dari itu. Bisa dia tebak nenek akan memeluk dan mencuri cium pipi kanan dan kirinya.
Kala itu jemarinya tertarik keluar dari karung beras. Dan karena panas dan pedih itu datang menyerang lagi, dia urungkan menghapus cap bibir nenek tetapi segera memasukkan jemarinya lagi ke karung beras. Tak sampai semenit, ibu memanggilnya untuk menyiapkan sajian makan siang. Wajahnya sedikit merengut tapi tetap menjauh dari karung beras itu sambil mengibas-ibaskan jemarinya di udara—upaya meringankan panas dan perih karena air biji cabai—untuk mengambil taplak meja dari dalam almari dan membentangnya di depan televisi.
Dia mengambil 5 piring, untuk ayah, ibu, adik, dan neneknya serta dirinya sendiri. Sendok dan gelas pun dihitungnya sama dengan jumlah piring. Ditatanya rapi sebakul nasi, tak lupa sambal hijau yang dihidangkannya dengan rasa bangga itu kemudian menyusul rebusan sayur, ikan sarden goreng dan air kobokan yang dibawa ibunya. Setelah satu jam berlalu, dia melihat mangkuk sambalnya bersih. Rupanya, keluarganya tahu benar cara membuat semangat memasaknya terus membara. Tidak sekedar pujian yang dilisankan selama makan siang bersama itu saja tetapi mangkuk sambal yang bersih yang bisa menjelaskan lebih banyak kepadanya dari yang bisa dijelaskan kata-kata.
“Bahwa sambal buatanku benar lezat,” Simpulnya.
Di hari-hari libur berikutnya, dia belajar membuat berbagai macam jenis sambal lain yaitu sambal teri, sambal terasi, sambal nanas, sambal rebus, dan sambal-sambal lainnya. Berbagai jenis sayur tumis, yaitu tumis kangkung, tumis sawi, dan tumis-tumisan lainnya. Kemudian pindang ikan, pindang daging, rendang, sayur lodeh, sop ayam, sayur bening dan sebagainya. Tetapi dari semua yang dia pelajari, dia paling senang bening bayam buatan ibunya. Ayahnya pun begitu. Adiknya juga. Bening bayam biasanya disajikan dengan ikan goreng dan sambal terasi. Jika sudah begitu, suasana di altar makan akan membara dan pikiran setiap orang yang mengelilinginya adalah untuk menyapu bersih semua yang disajikan. Ia juga sama. Ia tidak ingin sampai tidak kebagian lagi karena kebiasaan makannya yang sering lambat bak putri—ini istilah yang sebenarnya mendiskriminasi semua putri. Akhirnya ketika semua piring yang tadinya berisi makanan bersih, sambil menurunkan makanan di perut, mereka akan mengobrol dan semua akan terasa komplit seusainya. Komplit di lidah, di perut dan di sana-sini.
***
Baginya, pasar tumpah itu tak banyak berubah meskipun dia sudah berubah banyak. Sudah lama ibunya berhenti berjualan karena kala itu ibu memutuskan untuk menjadi TKW ke negeri Jiran. Ayah sedang membangun usaha pembuatan batu bata kala itu. Ingatannya tentang pasar tumpah itu selalu bagian tepat ketika terakhir kalinya ia menemani ibunya berdagang sayuran sebelum berangkat ke Malaysia. Ketika pulang ibunya mengantungi setengah kilo apel dan setengah kilo jeruk di tangan kanannya lalu tangan satu lagi memegang dua buah es krim Conello rasa cokelat. Tak terbayang betapa bahagianya ia hari itu.
Buah dan es krim itu adalah kemewahan yang tidak bisa ia dan adiknya rasakan setiap hari—persis seperti momen ketika membeli baju baru kala lebaran tiba. Ia hampir tidak mampu mengklasifikasikan memori itu sebagai kenangan yang membahagiakan atau menyedihkan. Mengingatnya kadang membuatnya tertawa, kadang juga menitikkan air mata.
Tiga tahun kemudian ibu pulang ke rumah dan usaha ayah—tanpa disangkanya—sudah jauh berkembang meski tidak pesat. Ia, adik dan ayah memulai kehidupan baru bersama ibu. Uang hasil kerja sebagai TKW dimodalkannya untuk membuat usaha toko kelontong. Sejak itu kehidupan keluarganya meski tidak sekaya para pengusaha tetapi sudah lebih baik dari saat ibunya berjualan dulu. Ia lalu disekolahkan ke universitas—sesuatu yang dulu rasanya tidak mungkin—ketika adiknya saat itu masih duduk di bangku SMP. Beberapa tahun setelahnya mereka sudah pindah ke rumah yang baru berkamar tiga. Tidak lagi orang tuanya berbagi ruang kamar dengan ia dan adiknya yang disekat dengan triplek. Orang tuanya membeli rumah yang tidak jauh dengan toko kelontong ibu.
Lima puluh menitan sudah dia berjalan mengelilingi pasar tumpah itu. Di tas belanjaannya sudah ada cabai, ikan mas, bawang merah, bawang putih, bayam, jagung manis, wortel, tomat. Ia melihat-lihat sambil memikirkan apalagi yang harus dibelinya. Ia diam sejenak dan tampak berpikir keras. Rasanya tepat seperti hendak menyusun bangunan dari potongan-potongan lego yang kurang. Tetapi bedanya sekarang ia tidak tahu potongan apa yang kurang itu. Lalu di depan penjual bumbu dia melihat temu kunci dan seketika menemukan apa yang kurang itu.