Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Seni

Melawan Batas Lewat Seni Pentas

25 Mei 2023   20:48 Diperbarui: 25 Mei 2023   20:59 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pentas seni djembe, vokal, dan deklarasi anak Indonesia pada Hari Anak Nasional Kota Bandung 2022 (Foto: dok. Biruku Indonesia)

Wajah sumringah menghiasi wajah Ihsan Nur Hidayat. Lelaki muda tunagrahita tersebut menceritakan pengalamannya saat tampil dalam pentas tari di beberapa kota seperti Bandung, Sumedang, hingga Semarang. Ihsan mengaku bahagia karena penampilan dirinya sangat diapresiasi oleh guru dan orang tua.

"Yang dirasakan itu senang. Semua keluarga nonton Ihsan. Persiapannya harus latihan dulu. Diulang-ulang gerakannya Latihan dari Maghrib sampai malam. Capek, tapi Ihsan suka," ucap siswa kelas karya SLB BC YPLAB Wartawan Bandung tersebut.

Setelah bertahun-tahun menari, Ihsan berkeinginan belajar hal lain, yaitu fashion show. Ia mengaku pernah mendapatkan juara sejak TK dan SD. Pengalaman tersebut sangat berkesan di benaknya, sehingga ia memutuskan ingin mempelajarinya lagi secara serius.

Selain menari dan memeragakan busana, Ihsan juga mengaku gemar bernyanyi. "Ihsan suka nyanyi lagunya Hijau Daun dan ST12," ujarnya.

Ihsan yang bercita-cita sebagai dokter gigi ini pun meminta tolong kepada sang guru untuk mencarikan lagu kesukaannya melalui Youtube. Tak lama, alunan nada dan lirik mengalun kemudian Ihsan turut mendendangkan lagu bertajuk "Saat Terakhir" milih ST12 tersebut.

Duduk bersebelahan dengan Ihsan, Evan Safa Abiyyu menyimak dengan seksama. Sesekali ia bertanya kepada Ihsan mengenai hal apa saja yang tengah dibahas dengan menggunakan bahasa isyarat. Ihsan pun menjelaskan melalui bahasa isyarat yang sama secara cepat. Evan mengangguk-angguk tanda mengerti dan menimpali lagi dengan isyarat jari-jarinya. Percakapan hening tersebut terlihat hidup melalu ekspresi yang turut menghiasi wajah mereka.

Evan merupakan siswa tuli yang baru saja naik ke kelas 7 di SLB BC YPLAB Wartawan Bandung. Sama seperti Ihsan, ia juga cakap dalam olah tubuh. Menari tarian tradisional dan pencak silat merupakan kegiatan rutinnya di sela-sela aktivitas akademik di sekolah. Ia bahkan turut berpartisipasi dalam gelaran Piala Gubernur Pelajar Juara Jawa Barat 2022 dengan membawakan tari bertajuk "Wanci" bersama rekan-rekan tuli lainnya dan tunagrahita.

"Awal menari karena memang suka, tidak ada paksaan dari sekolah," ucap Evan melalui isyarat tangan.

Meskipun telah memiliki kiprah dalam bidang olah tubuh, Evan juga menggemari bidang desain grafis. Kesukaannya dalam menggambar disalurkan melalui pembuatan berbagai poster. Beragam tema seperti waspada bencana, kampanye makanan sehat, hingga bahaya rokok dibuat Evan melalui desain kekinian. Karya-karya tersebut kemudian dipajang oleh pihak sekolah di dinding bangunan bagian depan. Evan juga mengaku suka membaca dan  menyenangi konten berbahasa Inggris di media sosial.

Balva Faustin, salah seorang guru di sekolah ini mengungkapkan para siswa tampak antusias ketika diajarkan aktivitas seni. Meskipun sempat ada kendala komunikasi, baik guru maupun siswa tak kenal lelah dan menyerah untuk belajar. Kesulitan pendengaran yang dialami siswa tuli menjadi tantangan karena mereka tidak bisa mendengarkan musik pengiring. Metode menghafal ketukan dan menghitungnya di dalam hati adalah jalan yang dipilih.

"Mereka kan tidak bisa mendengar musik, jadi kami para guru harus mengajar secara kontinyu lewat hafalan hitungan ketukan. Rerata anak tuli kesulitan berbicara juga, Mereka bisa meniru gerakan, tetapi tak bisa ngomong dan cenderung bubbling.  Tantangan lain pun ada pada anak tunagrahita. Kami harus menjaga kontak mata mereka supaya tetap konsentrasi. Ingatan mereka juga tidak panjang. Jadi benar-benar harus berusaha untuk mengajarkan," tutur Balva.

Alumnus jurusan pendidikan luar biasa ini menambahkan, para siswa cenderung bosan jika berlatih sendiri. Mereka akan bersemangat apabila ada teman lain yang turut berpartisipasi, sehingga tercipta suasana ramai yang mampu menghadirkan antusiasme dalam diri.

"Kadang kami ikuti dulu kemauan mereka apa. Misalnya ada yang ingin nyanyi ya sudah kami dengarkan dulu dia bernyanyi. Setelah itu baru latihan lagi," tukas Balva.

Ia bersama guru lainnya mengajarkan aktivitas seni dengan tujuan melatih motorik para siswa, terutama tunagrahita. Berbagai titel juara yang diraih dianggap sebagai bonus. Bagi mereka, kemampuan siswa untuk tampil secara percaya diri di depan banyak orang justru merupakan pencapaian utama.

"Banyak kok tokoh difabel yang berhasil dan berkiprah di ranah publik. Bahkan jadi staf khusus presiden RI juga kayak Angkie Yudistia. Ini kan memperlihatkan bahwa kita jangan fokus kepada kekurangan, tapi fokus ke perkembangan dan kemampuan individu itu," ucap Balva

Peran Awal Orang Tua yang Krusial

Penyaluran minat dan bakat seni menciptakan tumbuhnya rasa percaya diri kepada siswa disabilitas. Ketika perasaan tersebut ada, terapi dan kegiatan perkembangan yang dilakukan pun dapat diikuti dengan baik.

"Ketika penampilan anak-anak dikemas secara bagus, didandani, diberi seragam yang cakep, dikemas dengan tampilan menarik, diapresiasi audiens, ternyata mereka sangat bangga dan bahagia, Ini amat berdampak terhadap rasa percaya diri. Banyak orang tua yang menyampaikan bahwa setelah tampil dan dihargai, perkembangannya meningkat dan dampak perilaku di rumah menjadi beda sekali. Mereka lebih kondusif, bahagia, dan semakin mau bekerja sama baik latihan maupun terapi," papar Juju Sukmana, pendiri Biruku Indonesia, sebuah lembaga kesejahteraan sosial nonprofit yang bergerak di bidang pendidikan dan kemandirian disabilitas.

Program pengembangan bakat seni dapat dimulai dari asesmen awal yang mempelajari arah minat yang disukai anak, misalnya musik, gambar, vokal, modeling, atau bidang seni lainnya. Perlu ada kerjasama antara guru, terapis, dan tutor dengan juga memperhatikan sudah sejauh mana perkembangan anak tersebut. Hal ini diperlukan agar program pengembangan seni dapat sejalan dengan terapi yang tengah dilakukan.

Namun pentingnya peran sekolah dalam memfasilitasi bakat dan minat seni anak disabilitas rupanya tak bisa mengalahkan peran orang tua. Hal ini karena kegiatan di sekolah atau yayasan hanya mampu mengampu dalam beberapa jam dalam sehari. Selama ini yang menjadi evaluasi adalah kesadaran masing-masing orang tua terkait perannya. Kendala yang terjadi ada pada semangat orang tua yang naik turun.

"Terkadang orang tua masih minder dan tidak paham peran. Mereka bergantung kepada guru. Peran utama ini harus disadarkan dan terus diingatkan bahwa orang tua memiliki fungsi luar biasa, sehingga harus total dalam pendampingan. Semangat, metode pembelajaran, dan motivasi besar dari orang tua itu sangat berdampak ke anak. Begitupun sebaliknya," jelas Juju.

Menurutnya, upaya membangun komunikasi efektif antara sekolah dengan orang tua perlu diutamakan karena keberhasilan anak ada di tangan orang tua. Berbagai kegiatan yang memotivasi orang tua seperti konseling dan pertemuan rutin mutlak diperlukan untuk dapat menumbuhkan kesadaran serta keikhlasan dalam masing-masing personal.

Minat Seni Sebagai Wujud Aktualisasi

Abraham Maslow beranggapan bahwa kebutuhan menjadi alasan terbentuknya motivasi pada diri seorang individu untuk melakukan semua kegiatan yang sekiranya dapat menopang individu tersebut dalam usaha memenuhi kebutuhan mereka. Menurut Maslow, setiap manusia tak hanya memerlukan kebutuhan dasar dan rasa aman, tetapi juga kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.

Bentuk aktualisasi diri dapat diejawantahkan dalam berbagai wujud, salah satunya melalui seni. Sebagai ungkapan pikiran dan pengalaman jiwa, seni menjadi medium manusia untuk mengomunikasikan nilai estetis, etis, serta kemanusiaan. Oleh karena itu, pemenuhan hak seni dan budaya bagi penyandang disabilitas menjadi salah satu dari beberapa hak yang seharusnya bisa dipenuhi dengan baik

Data dari komunitas disabilitas Koneksi Indonesia Inklusif (Konekin) menyebutkan bahwa sebagian penyandang disabilitas memiliki kesulitan dalam mengekspresikan diri. Hal ini dapat diakibatkan dari batasan-batasan yang dihadapi di lingkungan. Namun dengan seni, penyandang disabilitas bisa lebih bebas mengekspresikan bakat.

Penyandang disabilitas juga dapat meraih prestasi dari jalur seni. Dengan kata lain, seni selain berguna untuk menyalurkan emosi dan bakat tapi juga dapat menjadi peluang untuk meraih prestasi tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Hal ini karena seni memandang keindahan karya, bukan kekurangan yang dimiliki oleh pembuatnya

Contoh nama seniman disabilitas yang tersohor dengan kiprahnya di bidang seni adalah Faisal Rusdi. Pelukis yang menyandang disabilitas daksa ini aktif melukis dan menjual lukisannya ke luar negeri. Selain itu, ada pula penari jaipong cerebral palsy Wulan Sriwenda serta aktor cilik peraih Bali Makarya Film Festival M Aldifi Tegarajasa. Sementara di bidang musik, Indonesia mengenal I'm Star Band yang seluruh personilnya merupakan penyandang autisme. Bahkan bassist band ini, Andhityas Cintya Widianna alias Shinta, juga piawai memainkan flute, piano klasik, biola, hingga mengaransemen lagu.

Ibu Shinta, Anita Pramono, mengatakan bahwa disabilitas autis agak sulit dideteksi karena secara fisik tidak terlihat, padahal terdapat kompleksitas di dalam otaknya. Mereka kerap dianggap tidak tahu aturan dari orang lain hanya karena fisik besar dan tampak sehat.

"Saya selalu berprinsip bahwa setiap orang diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kita terima kekurangannya dan kita terima juga kelebihannya apapun itu. Hilangkan rasa lebih berkuasa daripada yang lain, apalagi sampai menindas. Kita semua adalah sama di mata Tuhan," tukas Anita.   

Dukungan Pemerintah Masih Mentah

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas hadir dengan memberikan tanggung jawab kepada pemerintah daerah atas hak penyandang disabilitas. Namun beberapa penelitian di lapangan memperlihatkan bahwa masih ada kondisi minim kesempatan berkarya bagi disabilitas.

Penelitian yang dilakukan oleh Slamet Thohari (2017) dari Pusat Pengkajian dan Pelayanan Disabilitas Universitas Brawijaya menunjukkan masih kurangnya kesempatan dan akses bagi para disabilitas dalam berkesenian. Hal yang sama juga ditemukan oleh penelitian Frichy Ndaumanu (2020) dari Kemenkumham RI Kanwil NTT Kupang. Ia mengungkapkan hak penyandang disabilitas masih belum terpenuhi secara maksimal karena minimnya program dan kegiatan bagi penyandang disabilitas, belum adanya pendataan dan informasi, stigmatisasi, serta faktor sosio budaya. Penelitian tersebut menyarankan adanya peraturan daerah yang menjabarkan kewajiban pemerintah daerah atas hak penyandang disabilitas.

Sikap pemerintah daerah yang terkesan masih abai ini pun tercermin dari kurang maksimalnya teknis perhelatan yang melibatkan anak disabilitas. Hal ini diakui Balva tatkala menjadi pendamping serta pelatih tari sekolahnya untuk mengikuti sebuah ajang perlombaan pelajar tingkat provinsi.

 

"Harapan kami sih dalam perlombaan itu pemerintah membuat kategori terpisah antara SLB dengan sekolah lain. Pengalaman kami waktu itu ikut acara level provinsi, tapi penilaian siswa SLB disatukan dengan sekolah tingkat SMA dan SMK reguler. Jelas kami kalah. Padahal kami membuat aransemen dan koreografi sendiri," catat Balva memberikan evaluasi.

Sementara itu terkait dukungan pemerintah, Juju pun merasa selama ini memang masih kurang dan belum optimal. Hal tersebut terasa dari implementasi kebijakan yang dinilainya masih di bawah 40 persen. Ia berharap ada skema jemput bola sebagai langkah implementatif.

"Kami berharap ada ruang dan kesempatan dari pemerintah dan masyarakat supaya anak disabilitas bisa mengeksplorasi, menampilkan, serta menunjukkan kemampuan mereka. Bukan sekadar lip service," harap Juju yang juga wakil ketua Kadin Kota Bandung tersebut.

Ia mengusulkan ada aturan berupa kewajiban lembaga pemerintah untuk melibatkan anak disabilitas dalam gelaran pentas seni. Hal yang sama juga dilakukan ketika memberikan perizinan kepada penyelenggara event daerah. Kebijakan tersebut misalnya dari penampilan anak disabilitas dalam pembukaan acara, sehingga masyarakat dapat turut menyaksikan. Secara tidak langsung, hal ini merupakan dukungan pemerintah untuk ikut mendorong keterlibatan masyarakat terhadap keikutsertaan anak-anak spesial tersebut. 

"Anak-anak disabilitas mungkin lemah dalam komunikasi dan akademis, tetapi mereka memiliki potensi luar biasa dalam minat dan bakat seni. Mereka hanya perlu ditangani secara lebih profesional lagi," ucap Juju. ***

Hanifa Paramitha Siswanti

Tulisan ini merupakan liputan hasil pelatihan "Jurnalis Ramah Anak" pada Maret 2023 yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen Bandung bersama Save The Children Jawa Barat. Tulisan juga dipublikasikan di tvrinews.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun