Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

"Meskipun Capek, Perasaan Saya Lebih Happy!", Cerita Para Istri dengan Pasangan yang Setara

6 Maret 2022   20:32 Diperbarui: 6 Maret 2022   20:40 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesetaraan relasi antara suami dengan istri menentukan kebahagiaan pernikahan dan pengasuhan anak. (Sumber gambar: dreamtimes.com)

Kesetaraan dalam relasi tak hanya berkutat dalam urusan mengerjakan urusan rumah tangga, tetapi juga dalam peran sebagai orang tua dalam pengasuhan anak. Seperti yang dialami Orin, seorang dosen di salah satu perguruan tinggi sekaligus ibu dari dua anak.

"Untuk urusan domestik, suami mendatangkan asisten rumah tangga. Kami juga berbagi tugas secara alami saja. Namun untuk urusan anak awalnya aku sendiri yang mesti struggling karena latar belakang keluargaku demokratis, sedangkan suami bukan seperti itu. Merasa urusan anak ya tugas istri. Awalnya sulit buatku, namun akhirnya suami sadar juga. Kami sepakat untuk mengasuh secara bersama."

Orin sempat jadi kaum sumbu pendek dan sering melampiaskan omelan kepada anak. Lelah dan stres adalah penyebabnya. Ia pun mengakui berkontribusi terhadap tumbuh kembang emosional sang anak yang jadi sering marah dan sensitif.

"Setelah konsultasi dengan psikolog, anakku perlu manajemen emosi yang baik dan aku harus berupaya memperbaikinya supaya tidak jadi innerchild saat dia dewasa," tuturnya.

Setiap orang mengalami stres dan beban berbeda. Ketika seseorang menyadarinya, ini adalah pertanda yang baik. Namun budaya di negeri ini masih belum sepenuhnya sadar akan kesehatan mental dan masih enggan ke profesional karena masih takut akan stigma sakit jiwa dari lingkungan.

"Harus diakui kultur di Indonesia belum bisa mendukung penuh kaum ibu. Patriarki membuat hal ini jadi luar biasa sulit dan belum optimal. Pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang punya kesadaran akan hal ini karena yang lebih berpengaruh itu ya kultur. Padahal dalam perspektif hukum, setiap orang punya hak sehat secara mental. Hukum normatif menjamin kesehatan yang tidak hanya fisik, tapi juga mental," papar Orin yang pernah mengenyam pendidikan  magister hukum di Prancis ini.

Beban yang bertumpuk pada satu pihak saja akan menyulitkan diri dalam memberi ruang untuk meregulasi emosi dan stres. Perlu adanya pembagian tugas dan peran yang jelas dalam setiap keluarga melalui diskusi yang melahirkan kesepakatan terkait hak dan tanggung jawab untuk meminimalisasi stres.

Menurut psikater dr. Elvine Gunawan komunikasi merupakan strategi terkait pembagian peran. Ketika dalam hubungan ada yang otoriter atau merasa superior maka tidak akan ada pola komunikasi yang sehat. Ini yang jadi sumber stres dan biasanya sang ibu yang lebih banyak mengalami.

"Apabila salah satu pasangan terus menerus dituntut kewajiban tanpa diberikan hak, tentu itu akan menyebabkan gangguan mental dan emosional. Ini adalah hal yang penting disadari karena kontrol terhadap stres akan menentukan apakah suatu keluarga itu menjadi wellbeing atau disfungsional," tutur dr. Elvine.

Dampak Negatif Relasi Timpang Orang Tua Kepada Anak

Role model pertama bagi seorang anak adalah orang tuanya. Hubungan antar orang tua pun akan menjadi gambaran kepada anak tentang bagaimana pola relasi yang bijak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun