Jam dinding di ruangan ini masih menampakkan angka 23.30. Sesosok lelaki tampak termenung sendirian di ruang tunggu.
Â
Tatapannya lesu. Sesekali ia memejamkan mata sembari bibirnya merapalkan sesuatu. Seperti menggumamkan lafaz istighfar.
Â
Ia pun berulang kali menghembuskan nafas yang berat. Seolah ada sesuatu yang mengganjal dalam dadanya.
Â
"Malam, Mas," aku menyapanya.
Â
Dia menoleh ke arahku. Tatapannya benar-benar pilu.
Â
"Malam..." jawabnya lirih.
Â
"Permisi saya ikut duduk dulu di sini ya," pintaku sembari menunjuk kursi kosong di sebelahnya.
Â
Lelaki yang kukira-kira berusia 30-an itu pun hanya mengangguk lemah.
Â
Sembari membereskan peralatan pel yang baru saja kugunakan, aku mencoba mengajaknya sedikit berbincang. Barangkali ia memiliki beban tertentu yang ingin dibaginya kepada seseorang. Siapa tahu perasaan dan pikirannya menjadi ringan.
Â
Lelaki itu bernama Santoso. Ia berujar bahwa dirinya merasa kalut.
Â
Bapaknya tetiba mengalami serangan jantung ketika berada di rumah bersama sang ibu. Padahal sebelumnya tak ada riwayat sama sekali.
Â
Santoso yang tengah berada di kandang ayam di loteng rumah segera turun dan bergegas membawanya ke rumah sakit. Kini sang bapak tengah dalam perawatan ICU di rumah sakit tempatku bekerja sekarang.
Â
 "Intinya uang bukan segalanya, Mas. Uang yang mengangkat harga diri kita, tapi uang juga yang bikin lupa diri dan menjatuhkan," ucapnya di ujung pembicaraan kami.
Â
Aku mengangguk-angguk membenarkan perkataannya.
Â
Malam semakin larut. Jam telah menunjukkan pukul 00.30.
Â
Santoso mulai tampak lelah ketika dokter jaga memanggilnya masuk ke ruang perawatan. Ia tampak terkesiap dan mulai agak tegang.
Â
"Saya pamit ke dalam, Mas. Terima kasih sudah menemani mengobrol singkat barusan. Permisi," pamit Santoso buru-buru namun tetap sopan.
Â
"Oh iya silakan. Semoga keadaan bapak Mas Santoso berangsur membaik," jawabku.
Â
Selepas Santoso pergi, aku beranjak menuju tempat penyimpanan peralatan kerjaku yang berjarak 100 meter dari ruang ICU. Sembari berjalan, aku kembali merenungkan percakapan barusan.
Â
Santoso bercerita, saat ini ketiga kakaknya merantau ke luar pulau. Ia mengaku, sejak kecil dirinya dan semua kakak sangat dimanja.
Â
Kedua orang tua mereka amat royal dan boros dalam mengeluarkan uang. Profesi sang bapak sebagai juragan taksi membuat lini kehidupan mereka tak pernah kehabisan pundi-pundi. Liburan keluar kota sudah menjadi agenda rutin setiap bulan.
Â
Perayaan ulang  tahun setiap anak  pun kerap digelar besar-besaran di restoran ternama. Bahkan saking tajir melintir, sang bapak pernah menjual beberapa unit taksinya untuk biaya pesta sunatan anak-anaknya yang diadakan dua hari dua malam.
Â
Sayangnya, terbiasa dengan hidup serba enak dan bergelimang harta, keluarga itu tak pernah menyediakan dana darurat dan dana pensiun untuk masa depan. Mereka berpikir bisnis taksi akan selalu makmur selamanya dan menjamin kehidupan.
Â
Namun akhirnya pukulan krisis global menimpa. Pendanaan perusahaan mulai pincang. Hanya mampu bertahan beberapa bulan, perusahaan taksi yang sempat merajai jalanan itu pun tumbang.
Â
Demi membayar pesangon ratusan karyawan, seluruh unit taksi ludes dijual. Hal itu belum termasuk pembayaran hutang perusahaan dan kartu kredit keluarga untuk keperluan konsumtif yang  kadung sudah berjalan setiap tahun.
Â
Semua aset yang tersisa pun habis tak berjejak, termasuk rumah gedongan yang telah ditempati puluhan tahun. Alhasil mereka sekeluarga terpaksa pindah ke rumah petak kontrakan.
Â
Kini di hari tuanya, sudah belasan tahun orang tua Santoso hanya menggantungkan hidup dari penghasilan beternak ayam kecil-kecilan. Semua kakaknya yang sekarang juga sudah berkeluarga di perantauan.
Â
Mereka hanya mampu mengirimkan dana sebesar Rp100 ribu per orang per bulan untuk membantu. Suatu jumlah yang tak sebanding dengan kebutuhan hidup di kota besar saat ini.
Â
"Saya bingung, Mas. Bagaimana nanti saya harus membiayai  perawatan Bapak di rumah sakit. Iuran BPJS Kesehatan saja sudah setahun tidak terbayar karena kami minim penghasilan. Apalagi harga jual daging dan telur ayam di pasaran sekarang sedang turun," ujar Santoso tadi saat berbincang.
Â
Tak terasa air mataku mengalir. Betapa aku  mensyukuri jalan hidupku. Hampir satu dasarawarsa menjalani profesi sebagai office boy, tak pernah sekalipun aku kekurangan uang.
Â
Saldo tabunganku semakin bertambah di bank. Bahkan aku mampu setiap bulan membeli reksadana kecil-kecilan demi jaminan hari tua nanti.
Â
Orang tuaku di kampung hidup sederhana. Mereka menggantungkan penghasilan menjadi petani garapan. Kami terbiasa dengan gaya hidup yang jauh dari hura-hura.
Â
Aku bercermin pada kehidupan keluarga Santoso . Betapa dahsyatnya kuasa Tuhan Yang Maha Esa dalam berkehendak.
Â
Layaknya roda berputar, kedudukan mereka di atas seketika menjelma menjadi di bawah. Hanya dalam sekali teguran, nikmat bergelimang harta bisa hilang dalam sekejap.
Â
Kupikir, betapa rasa memiliki dititipi kekayaan  harus diimbangi dengan rasa syukur. Tentunya disertai ikhtiar perencanaan  keuangan yang matang.
Â
Ah, semoga Santoso dan keluarganya dapat bijak mengambil hikmah dari semua ini.
Â
***
Hanifa Paramitha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H