Jumlah kasus gangguan mental pada remaja semakin meningkat setiap tahunnya.
Menurut data Riskesdas tahun 2013 ke tahun 2018, prevalensi gangguan mental emosional pada rentang usia 15–24 tahun mengalami peningkatan yang paling signifikan dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Kasus depresi dan kecemasan pada remaja mencapai sekitar 6,1% dari total jumlah penduduk Indonesia atau setara dengan 11 juta orang. Temuan ini senada dengan hasil survei Ikatan Lembaga Psikologi Indonesia (ILMPI) kepada 2.530 mahasiswa Indonesia pada tahun 2021 lalu. Dari hasil survei tersebut, sebanyak 82,8% mahasiswa memiliki gejala kecemasan yang tinggi dan 84,1% memiliki gejala depresi yang tinggi.
Menurut literature-review yang dilakukan oleh Limone dan Toto, tingginya kasus ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti:
Faktor sosioekonomi
Kondisi ekonomi yang kurang dan individu yang terisolasi dari masyarakat cenderung rentan mengalami depresi (Anakwenze, 2013),
Jurusan kesehatan
Mahasiswa kedokteran dan keperawatan, yang memiliki tanggung jawab teoretis dan memberikan tindakan ke pasien, biasanya memiliki beban kerja yang berat sehingga mengalami kecemasan dan keputusasaan yang lebih tinggi (Chernomas, 2013; Fares, 2016).
Dari literature review tersebut, para korban gangguan mental cenderung mengalami penurunan fungsi kognisi, penyalahgunaan zat, kinerja yang buruk dalam pekerjaan sekolah mereka, dan ketidakmampuan belajar. Hambatan dalam mendapatkan bantuan dan faktor predisposisi yang mempengaruhi korban berhubungan dengan lingkungan belajar dan histori mereka. Oleh karena itu, lingkungan belajar dan interaksi memainkan peran penting dalam menentukan kualitas kesehatan mental mahasiswa.
Akses terhadap layanan konsultasi psikologi masih terbatas.
Pengadaan layanan konsultasi psikologi di perguruan tinggi merupakan solusi agar mahasiswa dapat mengakses bantuan secara mudah dan adekuat. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi, Layanan Konsultasi Psikologi didefinisikan sebagai segala aktivitas pemberian jasa dan praktik Psikologi yang memerlukan kompetensi sebagai Psikolog dalam rangka tindakan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang bertujuan untuk pengembangan potensi diri dan peningkatan kesejahteraan psikologis.
Sayangnya, akses terhadap layanan konsultasi psikologi perguruan tinggi masih sangat terbatas. Hal ini terlihat dari jawaban survei yang dilakukan oleh Ikatan Lembaga Psikologi Indonesia (ILMPI) dan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) kepada 135 responden di 67 kampus di bulan Juni lalu.
Pada pertanyaan "Apakah anda membutuhkan pusat layanan konsultasi psikologi di kampus?", seluruh responden dari 67 kampus (100%) menjawab “Butuh adanya layanan konsultasi psikologi”. Sayangnya, hanya 40 kampus (60%) yang memiliki layanan konsultasi psikologi, bahkan sebanyak 15 (38%) layanan konsultasi tersebut berbayar.
Pemasangan tarif layanan yang tidak ramah "harga mahasiswa" membuat mahasiswa enggan untuk mengutilisasi layanan tersebut. Keadaan ini terefleksi pada Second Annual California Health Policy Survey yang dilakukan California Health Care Foundation (CHCF) yaitu sebanyak 51% responden memilih untuk "menunda" atau "berhenti" konsultasi psikologi karena terkendala biaya. Keputusan tersebut berdampak pada semakin banyak kasus gangguan mental yang tidak ditangani secara adekuat.
Selain itu, 9 responden dari 9 kampus (22%) yang memiliki layanan konsultasi psikologi mengaku kesulitan untuk mendapatkan informasi mengenai layanan tersebut di kampus mereka. Akses informasi yang terbatas di lingkup kampus yang luas dapat berpengaruh pada ketidak tahuan mahasiswa terhadap adanya layanan konsultasi ini.
Padahal akses terhadap layanan konsultasi psikologi perguruan tinggi dapat berpengaruh terhadap kualitas kesehatan mental mahasiswanya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kirti Matliwala pada 108 mahasiswa studi pascasarjana di tahun 2016, terdapat dampak positif signifikan pada mahasiswa yang mendapatkan konsultasi psikologi. Responden menjadi lebih santai, dapat fokus pada tujuan mereka, menyadari kekuatan dan kelemahan mereka. Selain itu responden dapat merencanakan jadwal sesuai dengan tujuan dan mampu mengelola emosi mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Connel, et. al terhadap 847 klien mahasiswa di 7 layanan konsultasi psikologi kampus pun memiliki hasil yang signifikan. Terdapat peningkatan kondisi klinis (seperti: kesehatan secara umum,penurunan gejala depresi, fungsi bermasyarakat, dan resiko melakukan hal berbahaya) di 70% klien yang mengikuti rangkaian kegiatan layanan konsultasi psikologi kampus hingga selesai.
Dari temuan-temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlu adanya regulasi yang mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk memiliki atau bekerjasama dengan layanan konsultasi psikologi. Sudah saatnya setiap perguruan tinggi memiliki pedoman pelaksanaan pendirian atau kerjasama dengan layanan konsultasi psikologi demi mempermudah akses bantuan kesehatan mental bagi mahasiswa dan civitas akademika. Pedoman yang wajib dilaksanakan oleh perguruan tinggi perlu dituangkan dalam bentuk peraturan sehingga bersifat mengikat.
Mengapa harus dibuat regulasi?
Merujuk pada hasil survei yang dilakukan oleh ISMKI dan ILMPI di bulan Juni lalu, terlihat bahwa masih banyak kampus yang belum memiliki layanan konsultasi psikologi. Padahal layanan konsultasi berperan dalam menciptakan kampus sebagai ruang aman dan meningkatkan kualitas kesehatan mental mahasiswanya. Selain itu, banyaknya layanan konsultasi kampus yang berbayar berdampak pada keengganan mahasiswa dalam memanfaatkan layanan tersebut. Temuan ini seakan menggambarkan bahwa mahasiswa perlu merogoh dompet untuk mencapai kesehatan mental yang paripurna. Padahal sudah banyak kampus yang bekerjasama dengan rumah sakit dalam bentuk pemberian jaminan kesehatan sehingga mahasiswanya hanya perlu menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan tidak dipungut biaya. Hadirnya regulasi pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2014 dan UU Nomor 23 Tahun 2022 mampu berperan dalam penyeragaman bentuk layanan konsultasi psikologi kampus.
Mengapa harus dalam bentuk Permendikbud?
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Menteri adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Dalam hal ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) memiliki wewenang untuk membentuk peraturan menteri yang mengatur mengenai pelaksanaan pendidikan dan penunjangnya, seperti contoh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Selain itu, keadaan ini pun didukung dengan telah terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi sebagai undang-undang pengampu. Sehingga pembentukan peraturan menteri mengenai pengadaan layanan kesehatan mental di perguruan tinggi pun mampu untuk dicapai menimbang kekuatan peraturan yang bersifat mengikat dan didasari oleh landasan teoritis, yuridis, dan sosiologis yang kuat.
Namun bagaimana apabila perguruan tinggi tersebut tidak mampu untuk mendirikan layanan konsultasi psikologi karena adanya keterbatasan?
Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 45 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikolog Klinis, Pelayanan Kesehatan Jiwa diselenggarakan terintegrasi dalam pelayanan kesehatan umum di Puskesmas dan jejaring, klinik pratama, praktik dokter dengan kompetensi pelayanan Kesehatan Jiwa, praktik psikolog perseorangan, klinik rumah perawatan, serta fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan fasilitas rehabilitasi berbasis masyarakat.
Dari mekanisme tersebut, dapat dilihat bahwa apabila perguruan tinggi akan mendirikan layanan konsultasi psikologi maka perguruan tinggi tersebut dapat mendirikan layanan konsultasi psikologi (praktik perseorangan/klinik) atau bekerjasama dengan puskesmas jejaring. Terkait puskesmas, RS, dan biro psikologi penyedia layanan kesehatan mental, Into The Light Indonesia bersama Center for Indonesian Medical Students’ Activities (CIMSA), Pijar Psikologi, dan Indonesian Young Health Professionals telah menyusun database penyedia layanan kesehatan mental berdasarkan kota demi mempermudah masyarakat untuk mengakses layanan konsultasi psikologi.
Dengan menjadikan perguruan tinggi sebagai lingkungan ramah kesehatan jiwa, diharapkan civitas akademika yang ada mampu merasa aman dan dapat mengembangkan potensi mereka dengan maksimal.
“Peningkatan prevalensi gangguan mental pada mahasiswa yang diperparah dengan terbatasnya akses terhadap bantuan psikologi dapat berefek pada penurunan kualitas pembelajaran mahasiswa di waktu mendatang. Kondisi ini merupakan teguran bagi Kemendikbudristek dan institusi pendidikan mengenai butuhnya layanan konsultasi psikologi sebagai solusi, demi menciptakan lingkungan pembelajaran yang sehat dan berkualitas.”
Mahasiswa harus tahu, mahasiswa bergerak
Health Policy Studies
ISMKI Harmoni
www.ismki.or.id | @ismki_indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H