Mohon tunggu...
H. Alvy Pongoh
H. Alvy Pongoh Mohon Tunggu... Konsultan - Traveller & Life Learner

I am a very positive person who love to do the challenge things and to meet the new people. I am an aviation specialist who love to learn, share, discuss, write, train and teach about aviation business and air transport management.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Wanua Taratara

10 Juni 2023   23:14 Diperbarui: 10 Juni 2023   23:26 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Persawahan di Taratara, Tomohon dengan latar belakang Gunung Lokon (Sumber: Dokpri)

Taratara merupakan desa atau kampung, dalam bahasa Tombulu disebut wanua yang terletak di antara Gunung Lokon dan Bukit Rawingkolo (Wawona), dan juga diapit oleh Sungai Makalesung dan Sungai Meras di bagian Utara dan Sungai Ranowangko di bagian Timur dan Selatan. Letak ini membuat Desa Taratara berada pada posisi strategis dan aman dari bahaya atau bencana alam, seperti material vulkanik akibat letusan Gunung Lokon dan banjir dari Gunung Lokon dan dari Tomohon.

Nama Taratara berawal dari kata "taz-taz", yaitu bunyi tumbuhan air, yang banyak tumbuh di rawa-rawa dan kolam-kolam di bagian Utara wilayah Taratara, sekitar Amian, Meras dan Paku, ketika ditarik atau diinjak. Karena mengalami banyak perubahan dialek oleh orang-orang dahulu, maka penyebutan taz-taz berubah menjadi "Tazataza". Kemudian pada tahun 1800-an, ketika Belanda masuk di Taratara, maka penyebutan Tazataza berubah menjadi "Taratara" yang kita kenal sekarang. Namun demikian, penggunaan nama Tazataza masih berlaku di kalangan orang-orang tua di Taratara, bahkan oleh masyarakat kampung tetangga seperti Woloan dan Kayawu.

Taratara didirikan sekitar tahun 1400-an atau abad ke-13 oleh orang-orang yang berasal dari "Walak Sarongsong" yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani pembuat garam dan penangkap ikan di pantai atau laut Tanahwangko. Penyebaran orang Sarongsong meluas sampai di Taratara karena wilayah Taratara sering dilalui mereka ketika menuju dan kembali dari Tanahwangko setelah selesai membuat garam dan menangkap ikan.

Jarak Sarongsong-Tanahwangko yang jauh sekitar 30 ditempuh dengan berjalan kaki, membutuhkan waktu yang berjam-jam dengan menyusuri bantaran sungai Ranowangko, sehingga mereka sering kelelahan bahkan ketika pulang waktunya sudah gelap dan malam ketika melewati Taratara. Saat malam tiba, mereka beristirahat dan tidur sampai keesokan harinya dengan berteduh di bawah pohon-pohon besar, atau di dalam gua-gua yang berada disekitar pinggiran sungai Ranowangko. Karena sering mengalami hal demikian, maka mereka mulai mendirikan rumah-rumah kecil dan darurat atau untuk sementara dapat ditempati.

Seiring dengan perjalanan waktu, mereka mulai tertarik dengan Taratara, karena tanahnya yang subur dan kaya akan hasil hutan. Bahkan dengan pertimbangan bahwa.jarak ke Tanahwangko lebih dekat, maka mereka mulai menetap di Taratara dan tidak lagi pulang ke Sarongsong. Hal ini menjadi daya tarik mereka sehingga semakin banyak orang yang membuat rumah atau gonggulang dan menetap di Taratara, sehingga lama-kelamaan terbentuklah satu kampung atau desa. 

Karena semua kebutuhan, baik makanan berupa ikan air tawar, hewan dan ternak, sayur-sayuran dan buah, pakaian, peralatan bahkan bahan untuk membangun rumah cukup dan tersedia di Taratara, maka mereka sepakat untuk tidak lagi bertani garam di pantai Tanahwangko, melainkan menetap di Taratara dengan bertani dan berburu hewan.

Dari waktu ke waktu, Taratara mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik jumlah penduduk maupun luas perkampungan dan lahan pertaniannya. Begitu pula dengan kehidupan masyarakat, khususnya budaya dan tradisi. Sehingga masyarakat mulai berpikir bahwa mereka membutuhkan pemimpin untuk mengatur dan memerintah mereka dalam menjalankan kehidupan sebagai satu komunitas. Oleh tua-tua kampung, melalui suatu musyawarah ditunjuklah orang yang dianggap mampu, biasanya yang berperawakan tinggi dan besar serta berani, yang disebut dengan "Tona'as". 

Biasanya Tona'as selain memerintah, juga memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menyelesaikan sengketa, menjadi panglima perang atau walian, memimpin ritual agama atau wailan atau rumarages, dan mengobati orang sakit. Keputusan orang dari Walak Sarongsong untuk menetap dan bertani di Taratara melalui proses ritual keagamaan terjadi di masa Tona'as Sumarandak Lelepouan.

Masyarakat yang belum mengenal Tuhan atau masih alifuru, dipimpin oleh Tona'as Sumarandak Lelepouan melakukan ritual sembayang dan pemujaan atau rumaghes untuk meminta tanda atau wenang kepada roh-roh leluhur mereka yang mereka anggap mempunyai kekuatan untuk melindungi mereka (animisme). Ritual rumaghes dipimpin oleh orang-orang tua yang disebut Rumaraghes. Para Rumaraghes memilih tempat yang baik yaitu dataran dan dekat mata air. Dalam pelaksanaan ritual rumaghes datang seekor burung Manguni, terbang mengitari atau rimuang tempat tersebut sambil memberikan bunyi atau kicau sebagai tanda atau wenang sebanyak 9 (sembilan) kali atau manguni makasiouw. 

Setelah mendapatkan tanda dan menganggap doa mereka dikabulkan, maka mereka mendirikan monumen dari batu sebagai peringatan akan pendirian Kampung Taratara. Monumen tersebut dinamakan "Watu Tumani". Sedangkan tempat mereka melakukan ritual rumaghes dan mendapat tanda, mereka namakan Tinalinga'an. Tempat Tinalinga'an dimana Watu Tumani ini didirikan, sebagai perkampungan atau wanua pertama sekarang ini disekitar gereja GMIM Imanuel sekarang. Adanya perkampungan ini dibuktikan dengan menumpuknya kuburan kuno atau waruga, disekitar gereja GMIM Imanuel Taratara kesemua arah sampai radius 200 meter. Biasanya orang yang meninggal dikuburkan oleh keluarga di dekat rumah dan dibangun tanda dari batu yang berbentuk rumah kecil yang disebut "Waruga".

Taratara di Zaman Tona'as

Para Tona'as yang diketahui pernah memimpin masyarakat di Taratara, adalah sebagai berikut:

1. Tona'as Tulong

2. Tona'as Kalangi

3. Tona'as Tambingon

4. Tona'as Sumarandak Lelepouan

5. Tona'as Sembel

6. Tona'as Lontoh

Di masa Tona'as Tulong, masyarakat Taratara diperintahkan untuk membuka lahan pertanian. Kemudian dilanjutkan oleh Tona'as Kalangi dengan menambah luas lahan pertanian. Masa Tona'as Tambingon terjadi banyak peperangan antar masyarakat sekitar. Sehingga masyarakat diperintahkan memasang warangka untuk membentengi kampung dari serangan musuh. Warangka tersebut dikenal sebagai Si'zang um Wanua. Masa Tona'as Sumarandak Lelepouan dan Tona'as Sembel membangkitkan pengembangan budaya memahat dan mengukir batu untuk dijadikan waruga. Sedangkan Tona'as Lontoh merintis penetapan batas-batas wilayah kampung Utara dengan Gunung Lokon, Timur dengan Woloan, Selatan dengan Tincep dan Barat dengan Ranotongkor.

Taratara di Zaman Kolonial

Ketika pecah Perang Tondano, yaitu perang terbesar rakyat Minahasa melawan penjajah Belanda dan puncaknya pada tahun 1807-1809, Tanahwangko menjadi pintu masuk tentara Belanda di bagian Barat. Akibat perang dengan Belanda banyak rakyat negeri Taratara mengungsi di gonggulang, sebutan untuk tempat-tempat yang khusus dibangun untuk persembunyian orang yang mengungsi, seperti goa, bunker dan rumah darurat di hutan. Kebanyakan rakyat yang mengungsi adalah laki-laki dan perempuan baik anak-anak maupun dewasa, yang masih kuat untuk lari. Yang tertinggal adalah orang-orang tua dan yang orang menderita sakit termasuk seorang laki-laki bernama Wilar. 

Tentara Belanda mengalami kesulitan ketika menguasai negeri Taratara, karena disekitar kampung dipasang jebakan dan ranjau berupa warangka oleh.pasukan rakyat negeri Taratara. Sehingga tentara Belanda memanfaatkan Wilar sebagai perisai dan penunjuk jalan yang aman dari warangka. Selanjutnya, karena jasanya terhadap tentara Belanda, Wilar diangkat sebagai pemimpin pribumi, namun bukan sebutan Tona'as lagi melainkan Ukung Tua atau Hukum Tua di negeri Taratara.

Taratara di Zaman Hukum Tua

Hukum Tua yang memerintah Taratara, dipilih dari masyarakat dan oleh masyarakat itu sendiri berdasarkan suara terbanyak. Hukum Tua yang pernah memerintah Desa Taratara sejak tahun 1807, adalah sebagai berikut:

1. Wilar (1807-1809)

2. Roring (1809-1815)

3. Kandou (1815-1840)

4. Wati Roring (1840-1855)

5. Daniel Wohon (1855-1867)

6. Salmon Sorey (1867-1870)

7. Barnabas Poluan Roring (1870-1884)

8. Rumajar Kereh (1884-1903)

9. Samuel Marinoya Pongoh (1903-1906)

10. Daud Israel Kereh (1906-1916)

11. Welem Wenas Pongoh (1916-1933)

12. Alphius Wenas Pongoh (1933-1946)

13. Dien Elisa Eduard Lonta (1946-1953)

14. Pieter Tangkuman (1953-1958)

15. Sembel Geret Suot (1959-1960)

16. Pieter Tangkuman (1960-1978)

Desa Taratara di tahun 1890, dijadikan sebagai Onderdistrict (Distrik Bawahan Tombariri), yang wilayah hukumnya meliputi Desa Woloan, Taratara, Kayawu dan Ranotongkor. Mereka yang pernah menjadi pemimpin Onderdistrict Taratara, yaitu:

1. Andries (1890)

2. Manoppo (1890-1893)

3. Ticoalu (1893-1896)

4. Frederik Andries (1896-1900)

5. Pelengkahu (1900-1903)

6. Sumaiku (1903-1906)

7. Karolus Waworuntu (1906-1908)

Pada tahun 1908, kedudukan Onderdistrict Taratara dikembalikan ke District Tombariri. Tahun 1955, dimasa pemerintahan Hukum Tua Pieter Tangkuman dan oleh perjuangan beliau, Desa Taratara menjadi bagian dari District Tomohon. Sejak tahun 1903, ketika masa jabatan Hukum Tua Rumajar Kereh berakhir, maka untuk mengisi kekosongan Hukum Tua, oleh pemerintahan District (Kecamatan) ditunjuklah orang yang dianggap layak oleh pemerintahan atasan sebagai Penjabat Hukum Tua.

Mereka yang pernah mejabat Penjabat Hukum Tua Taratara, yaitu:

1. Wajong (1903), mengisi kekosongan ketika jabatan Hukum Tua Rumajar Kereh berakhir.

2. Istefanus Wenas Palandi (1953), mengisi kekosongan ketika Hukum Tua Dien Elisa Eduard Lonta berhenti karena lanjut usia.

3. Jan Antonius Tambotto (1959), mengisi kekosongan ketika Hukum Tua Sembel Geret Suot berhenti akibat pergolakan Permesta.

Sumber Bacaan:

1. Anonimous, Sejarah Desa Taratara, Arsip Kantor Kelurahan Taratara Satu

2. Data-Data Arsip Kelurahan Taratara Satu

Sumber Lain:

1. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

2. Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon di Provinsi Sulawesi Utara

3. Peraturan Daerah Kota Tomohon Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan

4. Peraturan Derah Kota Tomohon Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kelurahan Woloan Satu Utara Kecamatan Tomohon Barat, Kelurahan Taratara Kecamatan Tomohon Barat, Kelurahan Taratara Tiga Kecamatan Tomohon Barat, Kelurahan Tumatangtang Satu Kecamatan Tomohon Selatan

Wawancara dengan:

1. Israel Lonta, mantan Kepala Desa/Lurah Taratara Satu

2. Daniel Lonta, mantan Kepala Desa/Lurah Taratara Dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun