Mohon tunggu...
Tante Liza
Tante Liza Mohon Tunggu... -

Manusia biasa yang sedang belajar bagaimana agar hidup ini tetap HOT! :) // Facebook: Liza Subrata // Twitter: @LizaTante

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Fiksi Kuliner] Kenangan Kopi Hitam

10 Juni 2016   21:48 Diperbarui: 11 Juni 2016   06:53 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kenangan. Terkadang ingatan-ingatan itu muncul perlahan.  Serupa gelembung-gelembung  kecil yang menari-nari dalam batok kepala. Membawaku kembali menelusuri lorong-lorong yang nyaris saja aku lupakan. Biang keladinya adalah kopi hitam.

Kopi hitam keparat yang selalu muncul di meja lelaki  berkumis, di dalam ruang tamu sederhana, yang  selalu aku saksikan setiap pagi dari balik daun jendela yang terbuka.

Ketika sudah begini, maka teman-temanku akan mengerumuniku. Berebut mengeluarkan suara-suara yang timbul tenggalam. Semakin lama berdenging, menjerit. Sehingga membuat telingaku seakan tak sanggup menampungnya.

“Kopi hitam laknat!”

“Kopi hitam keparat!”

“Kopi hitam pembunuh!”

“Surya membunuh dengan kopi hitam!”

Entah siapa Surya, nyatanya aku tak mengenal nama itu. Nama yang kerap kali didenging-dengingkan teman-temanku seperti pagi ini. Maklum saja, aku hanya di sini ketika pagi. Sehingga tak banyak yang dapat aku saksikan dan dengarkan. Dan lagi, aku tak mau tahu. Aku malas bertanya ke mereka.

“Penjarakan Surya!”

Lagi-lagi nama Surya berdentam di telingaku.

Semua berawal dari kopi hitam. Mari kuceritakan tentang kenangan bersama kopi hitam. Entah sudah berapa lama jaraknya, aku tak mengingat persisnya.

Pada suatu siang yang terik. Tatkala mentari tengah menerpa atap-atap rumah yang berbahan seng berwarna perak berkilauan, dan aku tengah berteduh dari teriknya mentari, aku melihat lelaki berkumis tebal memasuki sebuah rumah. Rumah sederhana yang di huni seorang lelaki 40 tahunan bersama istrinya yang tanpa anak.

Aku merasa benci betul dengan  lelaki itu. 

Lastri, istri dari sang tua rumah, beberapa kali berselingkuh dengan lelaki kumis tebal itu di rumah tatkala suaminya berada di sawah. Aku beberapa kali menyaksikan. Tapi aku sendiri tak tau bagaimana caranya memberi tahu kepada sang tuan rumah.

“Selamat datang pak Lurah, ada apa pagi-pagi begini ke mari?” Senyum si tuan rumah mengembang menyambut sang tamu.

“Emmm… anu, hanya mau bertemu danganmu saja, Pak. Biasa, mau bincang-bincang mengenai pembangunan jalan….” Terlihat gugup lelaki yang dipanggil pak Lurah itu.

“Silahkan duduk. Biar istri saya buatkan minuman buat pak Lurah.”

Tak berapa lama, lelaki ceking  itu masuk ke dalam, dan meninggalkan pak Lurah di ruang tamu. Aku mengintipnya dari sela-sela daun jendela kayu yang terbuka.

Satu menit berlalu, lelaki ceking kembali menemui pak Lurah. Menemainya mengobrol, sesekali terlihat keduanya tertawa.

Tiga menit kemudian, Lastri membawakan dua cangkir kopi dan menyuguhkan di hadapan masing-masing. Cangkir pertama untuk suaminya, cangkir ke dua untuk pak Lurah. Sepersekian detik, matanya mengerling ke arah pak lurah. Hanya aku yang menyadari.

Sepeninggal Lastri ke arah dapur, suaminya meneguk isi kopi hitam hingga tandas tanpa sisa. Hanya dibutuhkan waktu lima menit untuk menyaksikan lelaki itu kejang-kejang dengan bibir mengeluarkan busa putih untuk kemudian diam.  Selamanya.

Lelaki ceking itu telah mati. Di rumah itu kini ditinggali oleh pak lurah dan Lastri. Tak ada yang tau bagaimana suaminya meninggal, kecuali mereka berdua, aku dan teman-temanku. Ketika hari penguburannya, Lastri menjerit-jerit histeris dan mengatakan kalau suaminya terkena santet. 

Kembali ke pagi ini, aku menyaksikan laki-laki berkumis itu tengah duduk-duduk di ruang tamu sederhananya dengan secangkir kopi hitam.

“Surya memberikan racun itu dua hari sebelum kematian suaminya!” Temanku berteriak.

“Siapa Surya?” Kataku menyela.

“Lelaki berkumis tebal, itulah Surya. Pemimpin kampung ini yang membunuh suami Lastri melalui tangan Lastri” Salah satu temanku menjawab.

Dalam jarak sekian meter dari arahku dan teman-temanku, terlihat Surya tengah menyeruput kopi hitam buatan Lastri.

Kami memperhatikan dalam diam, rutinitas pagiku sebelum aku berkelana. Selepas ini, biasanya aku langsung pergi dan akan kembali pada malam hari.

Tapi tunggu dulu, aku membatalkan diri untuk pergi, sepertinya kenangan itu kembali terulang di depan mata.

Aku menyaksikan, Surya kejang-kejang dengan mulut mengeluarkan busa putih.

Lastri yang sejak tadi mengawasi dari balik dinding kayu, kini mendekat.

“Sudah satu tahun pak, ketika aku salah sasaran meracuni suamiku sendiri. Ini racun sisa pemberianmu…” Bisiknya diam-diam.

Aku dan teman-temanku terdiam menyaksikan. 

Lastri menyeret tubuh Surya ke dalam, setelahnya ia menjerit –jerit tak karuan. Jerit buatan.

Kini, tak akan lagi aku berada di sini. Bersama segerombolan teman-temanku, kami terbang dari dahan ke dahan, mencicit,  menuju hutan tak bertuan, meninggalkan kenangan di perkampungan . Kopi keparat yang meninggalkan kenangan suram.

 

Gambar dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun