Semua berawal dari kopi hitam. Mari kuceritakan tentang kenangan bersama kopi hitam. Entah sudah berapa lama jaraknya, aku tak mengingat persisnya.
Aku merasa benci betul dengan lelaki itu.
Lastri, istri dari sang tua rumah, beberapa kali berselingkuh dengan lelaki kumis tebal itu di rumah tatkala suaminya berada di sawah. Aku beberapa kali menyaksikan. Tapi aku sendiri tak tau bagaimana caranya memberi tahu kepada sang tuan rumah.
“Selamat datang pak Lurah, ada apa pagi-pagi begini ke mari?” Senyum si tuan rumah mengembang menyambut sang tamu.
“Emmm… anu, hanya mau bertemu danganmu saja, Pak. Biasa, mau bincang-bincang mengenai pembangunan jalan….” Terlihat gugup lelaki yang dipanggil pak Lurah itu.
“Silahkan duduk. Biar istri saya buatkan minuman buat pak Lurah.”
Tak berapa lama, lelaki ceking itu masuk ke dalam, dan meninggalkan pak Lurah di ruang tamu. Aku mengintipnya dari sela-sela daun jendela kayu yang terbuka.
Satu menit berlalu, lelaki ceking kembali menemui pak Lurah. Menemainya mengobrol, sesekali terlihat keduanya tertawa.
Tiga menit kemudian, Lastri membawakan dua cangkir kopi dan menyuguhkan di hadapan masing-masing. Cangkir pertama untuk suaminya, cangkir ke dua untuk pak Lurah. Sepersekian detik, matanya mengerling ke arah pak lurah. Hanya aku yang menyadari.
Sepeninggal Lastri ke arah dapur, suaminya meneguk isi kopi hitam hingga tandas tanpa sisa. Hanya dibutuhkan waktu lima menit untuk menyaksikan lelaki itu kejang-kejang dengan bibir mengeluarkan busa putih untuk kemudian diam. Selamanya.