Mohon tunggu...
Tante Liza
Tante Liza Mohon Tunggu... -

Manusia biasa yang sedang belajar bagaimana agar hidup ini tetap HOT! :) // Facebook: Liza Subrata // Twitter: @LizaTante

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Fiksi Kuliner] Kenangan Kopi Hitam

10 Juni 2016   21:48 Diperbarui: 11 Juni 2016   06:53 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua berawal dari kopi hitam. Mari kuceritakan tentang kenangan bersama kopi hitam. Entah sudah berapa lama jaraknya, aku tak mengingat persisnya.

Pada suatu siang yang terik. Tatkala mentari tengah menerpa atap-atap rumah yang berbahan seng berwarna perak berkilauan, dan aku tengah berteduh dari teriknya mentari, aku melihat lelaki berkumis tebal memasuki sebuah rumah. Rumah sederhana yang di huni seorang lelaki 40 tahunan bersama istrinya yang tanpa anak.

Aku merasa benci betul dengan  lelaki itu. 

Lastri, istri dari sang tua rumah, beberapa kali berselingkuh dengan lelaki kumis tebal itu di rumah tatkala suaminya berada di sawah. Aku beberapa kali menyaksikan. Tapi aku sendiri tak tau bagaimana caranya memberi tahu kepada sang tuan rumah.

“Selamat datang pak Lurah, ada apa pagi-pagi begini ke mari?” Senyum si tuan rumah mengembang menyambut sang tamu.

“Emmm… anu, hanya mau bertemu danganmu saja, Pak. Biasa, mau bincang-bincang mengenai pembangunan jalan….” Terlihat gugup lelaki yang dipanggil pak Lurah itu.

“Silahkan duduk. Biar istri saya buatkan minuman buat pak Lurah.”

Tak berapa lama, lelaki ceking  itu masuk ke dalam, dan meninggalkan pak Lurah di ruang tamu. Aku mengintipnya dari sela-sela daun jendela kayu yang terbuka.

Satu menit berlalu, lelaki ceking kembali menemui pak Lurah. Menemainya mengobrol, sesekali terlihat keduanya tertawa.

Tiga menit kemudian, Lastri membawakan dua cangkir kopi dan menyuguhkan di hadapan masing-masing. Cangkir pertama untuk suaminya, cangkir ke dua untuk pak Lurah. Sepersekian detik, matanya mengerling ke arah pak lurah. Hanya aku yang menyadari.

Sepeninggal Lastri ke arah dapur, suaminya meneguk isi kopi hitam hingga tandas tanpa sisa. Hanya dibutuhkan waktu lima menit untuk menyaksikan lelaki itu kejang-kejang dengan bibir mengeluarkan busa putih untuk kemudian diam.  Selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun