Murah dan lokasi yang nyaman merupakan nilai jual angkringan yang dapat dilihat dari permukaan luar. Nilai jual lebih angkringan terletak pada sinkronikasi tempat dan konsumennya. Angkringan dianggap sebagai tempat yang egaliter.
Egaliter merupakan persamaan derajat pada setiap manusia. Jika diperhatikan, saat berkunjung ke angkringan topik pembicaraan setiap konsumen sangat beragam dimulai dari julid hingga pembicaraan yang intelektual.Â
Meskipun angkringan merupakan kedai kaki lima, konsumennya sangat beragam dan tidak ada dinding pembatas antar konsumen. Pelanggan dapat saja berkomunikasi dengan pelanggan lain terlepas statusnya. Angkringan merupakan tempat yang memfasilitasi interasi pelanggan dengan konsep kesederhanaannya.
Selain itu, nilai jual terbesar angkringan terletak pada konsumennya yaitu masyarakat suku Jawa. Suku Jawa mewakili sekitar 40 persen penduduk di Indonesia.Â
Angkringan yang sudah tidak asing bagi orang Jawa mendorong akulturasi bagi masyarakat suku lainnya. Memakan ampela dan hidangan lainnya menjadi kebiasaan baru yang umum.Â
Sebagai contoh kecil, berasa ada yang kurang jika makan bubur tidak ditemani ampela atau telur puyuh. Budaya memakan bubur yang biasanya tidak pakai ampela sudah berubah.
Mengapa Berusaha Angkringan?
Berbagai faktor pada penjelasan sebelumnya membuat angkringan menjadi salah satu bisnis yang perlu dicoba untuk tahap awal jika ingin masuk ke industri makanan dan minuman.Â
Filosofi yang sudah tertanam di masyarakat membuat usaha angkringan tidak perlu branding dan pemasaran lebih.
Modal membangun angkringan juga terbilang relatif terjangkau yaitu 3-5 juta rupiah. Mengutip dari berbagai kisah di media, mayoritas omset angkringan berada di jutaan rupiah per hari. Bisa hanya 1 juta hingga 6 juta rupiah.Â
Perputaran uang di angkringan terbilang mudah, hal ini dikarenakan tidak perlunya penjual melakukan branding lagi.Â