Jika mendengar kata angkringan yang terlintas di kepala saya sekilas adalah ampela. Angkringan, usaha yang sudah lama eksis kembali merebak sejak pandemi hingga sekarang.Â
Banyak sekali angkringan yang terkenal, baik di Yogyakarta, Surabaya, Lampung dan Medan. Mengapa angkringan, usaha kedai kaki lima ini bisa begitu dekat dengan masyarakat?
Sejarah Angkringan
Dilansir dari kompas.com, pelopor angkringan adalah Eyang Karso Dikromo dari Desa Ngerangan, Klaten. Berawal dari dagangan pikulan tumbu pada 1943, nama angkringan sebelumnya adalah warung hik di Solo. Kepopuleran warung hik merambah ke Yogyakarta pada 1950an.
Sejak merambah ke Yogyakarta, lahirlah nama angkringan. Angkringan yang dahulu merupakan dagangan pikulan berubah menjadi dagangan gerobak. Kepopuleran angkringan akhirnya meluas ke pulau lain seperti Sumatra, Kalimantan, dan lainnya.
Kepopuleran Angkringan
Kepopuleran angkringan tidak lepas dari harganya yang murah dan lokasi (tempat) yang nyaman. Saat angkringan diperkenalkan di Yogyakarta pada 1950-2000an, mayoritas konsumen adalah pelajar/mahasiswa.Â
Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar, membuat usaha angkringan semakin subur dengan target pasar yang jelas.
Angkringan bukan hanya tempat makan yang murah namun juga tempat berkumpulnya anak muda. Secara bisnis, segmen anak muda merupakan pasar yang sangat menjanjikan.Â
Daya beli yang masih dalam jangkauan dan kemampuan untuk membeli kembali menjadikan angkringan sulit tergeser di pasar, terutama angkringan yang menjadi tempat tongkrongan. Tidak heran beberapa usaha angkringan bisa menjadi besar meskipun baru beberapa bulan berdiri.
Faktor Sukses Angkringan
Murah dan lokasi yang nyaman merupakan nilai jual angkringan yang dapat dilihat dari permukaan luar. Nilai jual lebih angkringan terletak pada sinkronikasi tempat dan konsumennya. Angkringan dianggap sebagai tempat yang egaliter.
Egaliter merupakan persamaan derajat pada setiap manusia. Jika diperhatikan, saat berkunjung ke angkringan topik pembicaraan setiap konsumen sangat beragam dimulai dari julid hingga pembicaraan yang intelektual.Â
Meskipun angkringan merupakan kedai kaki lima, konsumennya sangat beragam dan tidak ada dinding pembatas antar konsumen. Pelanggan dapat saja berkomunikasi dengan pelanggan lain terlepas statusnya. Angkringan merupakan tempat yang memfasilitasi interasi pelanggan dengan konsep kesederhanaannya.
Selain itu, nilai jual terbesar angkringan terletak pada konsumennya yaitu masyarakat suku Jawa. Suku Jawa mewakili sekitar 40 persen penduduk di Indonesia.Â
Angkringan yang sudah tidak asing bagi orang Jawa mendorong akulturasi bagi masyarakat suku lainnya. Memakan ampela dan hidangan lainnya menjadi kebiasaan baru yang umum.Â
Sebagai contoh kecil, berasa ada yang kurang jika makan bubur tidak ditemani ampela atau telur puyuh. Budaya memakan bubur yang biasanya tidak pakai ampela sudah berubah.
Mengapa Berusaha Angkringan?
Berbagai faktor pada penjelasan sebelumnya membuat angkringan menjadi salah satu bisnis yang perlu dicoba untuk tahap awal jika ingin masuk ke industri makanan dan minuman.Â
Filosofi yang sudah tertanam di masyarakat membuat usaha angkringan tidak perlu branding dan pemasaran lebih.
Modal membangun angkringan juga terbilang relatif terjangkau yaitu 3-5 juta rupiah. Mengutip dari berbagai kisah di media, mayoritas omset angkringan berada di jutaan rupiah per hari. Bisa hanya 1 juta hingga 6 juta rupiah.Â
Perputaran uang di angkringan terbilang mudah, hal ini dikarenakan tidak perlunya penjual melakukan branding lagi.Â
Omset café kecil/minuman botol mungkin saja tidak dapat bersaing dengan omset harian angkringan. Dengan kata lain, lebih baik membuka usaha angkringan dibanding menjual kopi dalam botol/membuka kafe di teras rumah.
Bagaimana tertarik membuka usaha angkringan?
11 Januari 2023
Geraldo Horios
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI