Sial, oh, betapa sial orang baik itu!Â
Buat apa berbuat baik tanpa mendapat imbal baik yang nyata? Bukankah seharusnya orang baik mendapat penghargaan? Dunia tempat Lastri berpijak menolak mengiyakan.Â
Sungguh jarang, Lastri mendapati tontonan jasa-jasa orang baik terpampang di teve. Beda ceritanya dengan peselingkuh, pencuri, pembunuh, koruptor, yang lebih sering mendapat tempat untuk disorot dan segudang penontonnya.Â
Bahkan orang bisa dengan bangga mempertontonkan kejahatannya seolah-olah luruslah yang terjadi dan tak ada nurani yang dilawan.
Meskipun Lastri tahu bahwa orang tua dari salah satu teman sekolahnya itu adalah koruptor, tetap saja Lastri iri dengan temannya itu yang begitu mudah mengeluarkan uang sekaligus mentraktir makan dirinya di mal sepulang sekolah.
Lastri ingin, Lastri sangat ingin, seperti itu. Lastri muak melihat perbuatan baik. Tak ada gunanya karena Bapaknya pun mati cepat. Sementara koruptor, orang tua temannya itu, masih berumur panjang bahkan setelah bebas dari penjara.
Keluarga temannya itu malah semakin kaya dan sekarang menetap di luar negeri. Lastri tak mengerti, benar-benar tak mengerti, mengapa Bapaknya semasa hidup terus berbuat baik.Â
Lastri ingin jadi orang jahat saja. Begitulah yang tersimak dalam hati seorang gadis yang sedang beranjak dewasa.
Sementara di suatu tempat entah antah berantah, dalam keadaan yang sebegitu damai, dalam sekelebat bayangan, arwah Paimo menatap ke bumi. Matanya terbayang membasah.
...
Jakarta,
31 Januari 2024.