Dan hanya pesan itulah yang teringat di pikirannya, karena ia tak sanggup menerima kenyataan-kenyataan lain untuk mengharuskan dirinya berbuat baik pada sesama.
Di sekolah, terlebih sering ia menelan ludah kala merenungi nasib dirinya, setelah melihat teman-teman se-SMA-nya punya tas baru setiap menjelang pergantian tahun ajaran.Â
Beberapa terlihat diantar orangtua mereka naik mobil mewah. Ketika diajak jalan-jalan, Lastri kerap malu lantaran tak punya uang untuk sekadar membeli minuman.
Mengapa mereka tidak seperti dirinya? Batin Lastri suatu saat. Mengapa Bapak tidak kunjung-kunjung kaya meskipun setengah mati berbuat baik? Keluh Lastri kali lain.Â
Bukankah seharusnya kebaikan dibalas dengan kebaikan? Tampaknya, Lastri melihat ketidakadilan terjadi.
Memang benar, Lastri kerap melihat Paimo tidak tanggung-tanggung untuk menyumbang keluarga dari yang sedang berbelasungkawa. Kata Paimo, sebesar apapun uang, tidak bisa menggantikan kehilangan.Â
Bila ada tetangga baru lahiran, Paimo akan pergi ke pasar dan membeli baju bayi untuk dibawakannya saat anjangsana. Sepetak jalan RT yang berlobang pernah pula ia perbaiki dengan uangnya sendiri, lantaran menunggu dari pemerintah setempat tidak cair-cair, sementara ia sudah berkali-kali mengadu.
Terus saja Lastri berharap Paimo, Bapaknya, mendapat limpah balas kebaikan yang nyata.
Tetapi, tak ada. Yang ada, uangnya habis. Tabungan terkuras. Di dompet hanya cukup buat makan sehari-hari. Rumahnya begitu-begitu saja. Hanya beratap gedek.
"Kita berbuat baik tidak untuk berharap pamrih. Kita siapkan tabungan di akhirat nanti!" begitulah jawaban Paimo yang Lastri tolak untuk mengingatnya.Â
Hanya sekali-sekali kembali teringat, ketika Lastri tiba-tiba merindukan Bapaknya itu. Bapaknya, yang tiba-tiba meninggal bersimbah darah di jalan karena tertabrak motor ketika dalam perjalanan menjenguk tetangga yang sakit.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!