"Gusman, Gusman, kamu baru pindahan rumah?" seorang pemuda di belakang Gusman yang baru tiba berujar diiringi gelak tawa. Tiga pemuda lainnya ikutan tergelak.
Satu dari tiga pemuda itu menepuk pundak Gusman. Ia merasa tidak heran dengan apa yang dilihatnya karena hampir demikian yang ia saksikan setiap selesai ibadah Minggu.Â
Paimo, yang baru saja tuntas menyapu halaman balai tanpa mengeluh, sama rajinnya ketika membersihkan lantai gereja. Paimo akan memastikan bahwa setiap jemaat sudah meninggalkan ruang ibadah hingga kosong, untuk kemudian menempatkan kembali piranti kebaktian pada tempatnya.Â
Kantong kolekte, kaki dian, kotak persembahan, karpet doa, termasuk setiap inci dari kaki bangku-bangku jemaat tertata lurus dengan arah ubin lantai, dirapikan mengarah ke posisi altar.
"Bapak ngapain sih, sibuk ngurus-ngurus orang? Kita ini masih miskin! Urus diri saja dulu, baru urus orang!" Lastri membentak orang yang muncul di hadapannya setelah ia membuka pintu rumah.Â
Lastri tahu bapaknya baru pulang dari balai warga tanpa perlu menanyakan. Sempat Lastri mendengar pengumuman dari toa masjid.
"Tak boleh ngomong begitu, Lastri!"
Terdengar dengusan lantang. Setelah itu, ada yang menutup pintu dengan kencang.
"Kamu kalau sudah mati, tak bisa lagi berbuat baik! Selama masih hidup, gunakan waktu sebaik mungkin!"
Lastri bosan mendengar itu, karena itu teruslah jawaban Paimo padanya. Seperti sudah terpatri dalam pikiran Paimo, bahwa hidup itu harus berbuat baik. Paimo menuju kamar tidurnya di dekat toilet.
Lastri benar-benar bosan. Bila ia kuasa memerintah Paimo, pasti ia tidak mengizinkan bapaknya itu keluar rumah untuk membantu orang. Sayangnya, ia masih ingat pesan ibunya sebelum meninggal, untuk menghormati bapaknya apapun keadaannya.Â