Dalam sebuah negeri antah berantah, tak pernah dilihat siapapun lagian siapapun yang bisa singgah tak akan kembali, terdengar bisik-bisik sekumpulan makhluk putih bersayap di sekeliling meja bundar. Agaknya mereka serius berdiskusi, tampak dari semua makhluk sedang ngomong sehingga hanya suara paling keraslah yang jelas terdengar.
"Bagaimana ini, kita harus mengubah cara kita?"
"Apa maksudmu?"
Hanya ada suara gremeng-gremeng.
"Sssstt... Diam dulu kalian. Kita tidak jelas ngomong apa kalau semua ngomong!"
Suara gremeng-gremeng belum juga reda. Agaknya lantaran yang dibahas sangatlah penting, semua makhluk ingin urun pendapat. Seorang makhluk berteriak lebih keras.
"Kita harus temukan cara, agar apa yang kita lakukan benar adanya."
"Ya, memang itu yang sedang dibahas. Kamu tadi dengar apa sih?"
Masih ada suara gremeng-gremeng. Semua makhluk tak sabar mengemukakan pendapat. Memang sulit menahan nafsu ketika semua ingin didengar.
Mereka semua bukannya baru mengadakan rapat itu. Sudah lama sekali sejak kehidupan di bumi berubah. Karena merasa tidak hanya satu dua yang berubah, bahkan sekarang hanya satu dua yang tidak berubah, harus diambil keputusan untuk melihat secara jelas dan menimbang secara tepat, bagaimana caranya menilai hidup manusia.
Pada saat ruh manusia yang baru saja meninggal tiba di negeri itu, malaikat pencatat kebaikan bingung melihat rekam jejaknya.
"Apa yang sudah kamu lakukan selama di dunia?" tanya malaikat itu.
Ruh manusia itu bilang, "Saya sudah banyak melakukan kebaikan. Silakan lihat apa yang saya lakukan."
Malaikat pencatat kebaikan membuka buku kehidupan. Nama manusia itu dibacakan dan tampaklah apa yang sedang dikerjakan. Malaikat itu diam sejenak. Agaknya banyak pertanyaan tiba-tiba muncul.
"Bagaimana saya bisa menyimpulkan kamu orang baik?"
Mata malaikat itu tertuju pada bayangan seorang lelaki yang asyik memainkan gawai di tangan. Masih serius ia memantau tingkah lelaki itu, ruh manusia di depannya menyela, "Lihat itu, saya sudah banyak membantu orang."
"Maksudmu?" malaikat menatap tajam ruh manusia, "kau tidak melakukan apa-apa kulihat. Hanya diam bersama gawai di hidupmu!"
Ruh itu terkekeh. "Kok bisa malaikat ketinggalan zaman? Saya sudah kasih like sama orang yang minta like ke saya. Ada orang lain juga minta dukungan like sehingga ketika videonya viral, uang hasil iklan bisa digunakan untuk bantu orang."
"Masih ada pula yang mendoakan saya. Katanya kalau saya memberi like, semoga umur saya panjang dan banyak rejekinya. Tak perlu waktu lama, pastilah dengan senang hati saya pencet tombol like."
"Saya pun tak tega memberi tombol dislike untuk video yang tidak saya suka. Terkadang ada kurang di sana di sini, tapi tampaknya kalau saya pencet dislike, bisa-bisa mengurangi semangat pembuat video untuk berkarya. Kurang baik apa saya, mengalahkan ego saya demi melihat ia tetap berkarya?"
"Jadi, apa yang kau berikan sebagai bukti kebaikanmu?" malaikat kembali bertanya.
"Kan sudah saya bilang. Itu tombol like. Yang bentuknya macam hati warna merah."
Malaikat itu geleng-geleng. Ia sulit mengerti tentang apa yang dimaksud ruh itu. Biasanya, ketika ia melihat seseorang berbuat baik, pastilah ada tanda yang jelas, macam sebuah pemberian. Waktu ruh yang sedang ditanyanya mengaku membesuk orang sakit, setidaknya bisa dilihat dari parcel buah atau amplop berisi uang yang disalamkan ke pasien.Â
Ketika ada seseorang yang meninggal, kebaikan orang lain bisa dinilai dari hadirnya orang itu waktu pelepasan jenazah ke liang kubur. Apa yang dijelaskan ruh barusan memang tak masuk akal. Bagaimana bisa seseorang yang hanya diam di depan gawai lantas mampu mendeklarasikan diri telah berbuat baik hanya dengan memencet tombol like? Kalaupun bisa, bagaimana caranya melihat tombol like itu milik siapa dan dari mana bisa melihat kumpulan like-like itu secara detail?
Tak ada ubahnya dengan malaikat pencatat kebaikan, malaikat pencatat keburukan pun bingung. Ia tak sanggup mengerti, mengapa dalam dunia yang tak ada itu, manusia lebih gemar menghabiskan waktunya, bahkan sebagian besar dengan mudahnya menghina dan mengkritik orang-orang.
Begitu banyak hujatan dalam dunia itu. Malaikat pencatat keburukan harus mendata satu demi satu, apa yang sudah dituliskan manusia dalam komentar media sosialnya, belum lagi tantangan tentang komentar yang sudah dihapus, apalagi komentar dari sumber akun yang tak jelas namanya.
Agaknya malaikat itu tak sampai hati mencatat itu sebagai keburukan, tapi lantaran kehidupan manusia lebih banyak dihabiskan dalam dunia maya itu, itulah satu-satunya cara untuk menentukan seberapa jahat perilaku manusia yang sebetulnya sepanjang hidupnya hanya berdiam di depan gawai milik mereka.
Dulu pernah timbul perilaku jahat seperti membuat jebakan untuk orangtua dengan mengagetkan mereka tiba-tiba dalam dunia itu, tapi malaikat urung akhirnya mencatat sebagai keburukan, lantaran ruh yang ditanyanya berdalih dan hanya bilang itu sebuah konten. Semakin jelas ruh itu bilang, hanya kepura-puraan yang disajikan dalam kontennya, tak ada yang benar-benar jahat yang sedang dilakukan. Sayangnya, orangtua itu belum meninggal, jadi belum bisa digali informasi darinya sebagai pembanding kata-kata ruh itu.
Suara gremeng-gremeng malah makin kencang. Ada satu malaikat sudah berteriak tapi tak bisa terdengar. Seorang malaikat lagi menepuk meja, pun suara tepukannya masih kalah kencang. Seorang malaikat berdiri. Semua mata malaikat yang sedang duduk tertuju padanya, lantaran tampak beda sendiri dengan yang lain. Tiba-tiba mereka diam.
"Kita harus cepat memutuskan, teknologi macam apa yang perlu kita pakai untuk menilai kebaikan dan keburukan mereka. Kita tidak bisa kalau terus-terusan begini. Perilaku manusia sudah banyak berubah. Kita harus punya bukti jelas sebagai dasar pertimbangan."
"Itu yang dari tadi kita sedang bincangkan. Anda hanya mengulang-ulang saja."
"Oh, saya kira, sudah ketemu solusinya," malaikat itu sedikit terkekeh.
"Saya pun tidak tahu apa yang kalian bincangkan. Semua gremeng-gremeng, tak jelas ngomong apa."
Dari kejauhan mereka duduk, tampak rombongan ruh manusia yang sedang antre untuk menghadap meja penghakiman. Ada yang meninggal baru saja karena tertabrak truk. Ada yang tewas dalam medan pertempuran. Ada yang mengembuskan napas terakhir lantaran tak kuat menanggung sakit jantung. Ada yang bunuh diri seusai ditinggal pacar begitu saja. Begitu banyak penyebab kematian yang bisa dicatat, sayangnya kebaikan pun keburukan mereka selama hidup tidak segampang itu terlihat.
Ada seorang malaikat yang menyarankan agar para pembuat media sosial dipanggil dulu untuk meninggal, sehingga data-data apa saja yang manusia buat selama bermedia sosial bisa dimintakan dari mereka. Tapi, sayangnya aturan kehidupan dan kematian sudah berlaku lama. Tak bisa semaunya kematian diadakan. Bila belum waktunya, tak boleh malaikat pencabut nyawa bekerja.
Gremeng-gremeng makin menjadi-jadi. Rombongan ruh manusia itu semakin mendekat. Satu dua malaikat tambah kasak kusuk. Mereka masih bingung saja, teknologi apa yang bisa digunakan untuk menimbang kebaikan dan keburukan manusia? Masak malaikat bisa kalah dari manusia?
...
Jakarta,
4 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H