"Balaskan dendam kami, Tuan," akar-akar pohon itu berjalan maju lima langkah. Daun-daun merunduk menyentuh lantai yang putih bersih dan begitu kinclong, seperti tidak ada lantai yang mampu menyaingi kekinclongannya. Pohon itu seperti benar-benar sangat ingin memohon.
Manusia diam seribu bahasa. Matanya yang tadi menatap tajam seketika layu dan kusam. Ia sudah menyiapkan banyak alasan, tapi tampaknya gugur karena merasa kalah jumlah.
"Aku tidak pernah mengajarkan balas dendam. Balas dendam itu tidak pernah baik."
"Tapi, Tuan. Inikan dunia Tuan. Semua ada dalam kendali Tuan. Tak bisakah Tuan berbuat untuk kami?" pohon dan burung serempak bicara. Manusia semakin bisu. Lututnya tertekuk. Kedua tempurung lututnya merapat menyentuh lantai.
"Ada yang mau kau utarakan, manusia?"
Hanya suara angin sepoi-sepoi berdesir terdengar. Mulut manusia terkunci rapat. Manusia itu menggeleng. Ia tidak menyangka, selama ini getah itu pertanda tangisan. Selama ini, burung-burung dalam sangkar bercuit karena berteriak menuntut kebebasan. Selama ini, ia sudah menyiksa mereka.
"Sebetulnya semua sudah dibalas alam, Pohon. Aku membuat siklus itu terjadi sendiri. Manusia kelabakan ketika kau tak ada. Ada banjir. Bumi semakin panas. Tanah-tanah longsor. Entah, barangkali bisa pula dunia jadi neraka jika sama sekali tak ada pohon. Matahari terus bersinar dan tak pernah kuasa ia meredupkan sinarnya. Aku hanya menunggu manusia sadar."
"Tuan," manusia mulai buka suara, "Tuan," manusia mencoba memberanikan diri berkata, "Hamba tahu kalau hamba salah," suaranya terdengar pelan. "Jikalau boleh, izinkan hamba memberi tahu teman-teman hamba di sana, agar mereka tak lagi menebang pohon."
"Tidak bisa, manusia. Tidak bisa! Kau sudah berbeda alam. Teman-temanmu di sana pun sudah kuberi akal untuk berpikir. Salah mereka sendiri jika tidak mereka pakai!"
Dalam persidangan tiga makhluk itu, sudahlah jelas siapa yang akan beroleh keadilan. Cerlang yang selalu tegas tak pernah bisa ditawar keadilannya. Pohon dan burung akan dapat kebebasan. Untuk manusia, sesuai apa yang ia buat, itu yang akan ia terima.
Tidak jelas siapa nama manusia itu. Sepanjang pembicaraan di antara mereka yang tertulis dalam kisah ini, tak pernah disebutkan. Cerlang hanya mendengarnya sayup-sayup dan itu pun sekali dua kali ketika pohon mengajukan gugatan untuk terakhir kali. Kalau tidak salah...