"Mengapa kau berkesimpulan demikian?"
"Hamba tidak pernah berhasil menemukan kata selain kejam, Tuan. Tuan pasti tahu dan dari Tuan pulalah asalnya, bahwa kebaikan seyogianya dibalas dengan kebaikan. Tapi, apa yang hamba dapatkan, Tuan?"
Cerlang tidak menanggapi. Cerlang tidak meredupkan sinar pun tidak semakin membuatnya terang. Agaknya cerlang serius mendengarkan.
"Hamba ada di dunia, hidup di dunia, memberi oksigen pada manusia ini," katanya seraya lagi-lagi rantingnya menunjuk manusia, "Ia betul-betul butuh oksigen untuk hidup. Tanpa hamba, ia tidak bisa hidup."
Manusia itu kembali menatap pohon dengan tajam. Manusia itu membusungkan dada.
"Tapi, mengapa manusia menebang hamba? Apakah itu ucapan terima kasih selama ini atas jasa hamba dan teman hamba lakukan? Kami pun sering membuatnya tidur nyenyak saat siang. Kami tak pernah meminta balas untuk setiap batang pundak yang kami berikan sebagai sandaran kepalanya. Tapi, mengapa ia tak tahu balas budi?"
"Demi rumah-rumah itu. Demi gedung-gedung itu. Demi segala sesuatu yang ia lakukan untuk kepentingannya sendiri. Ia sudah membunuh kami." Muncul tetesan-tetesan getah di antara kulit-kulit pohon itu.
Suasana tiba-tiba hening.
"Ada yang ingin kau katakan, burung?" cerlang menyahut.
"Iya, benar, Tuan. Selepas pohon ditebang, hamba dan teman-teman hamba juga kehilangan tempat untuk bersarang. Ia juga sangat kejam menangkap kami satu satu untuk ditaruh dalam sangkar. Memangnya kami suka diperlakukan begitu?"
"Kami terus berteriak dalam kicauan kami, tapi ia menganggap kami sedang bernyanyi. Ah! Ia terlalu hebat kau ciptakan, Tuan. Barangkali karena itu, ia terlalu kejam berbuat. Kami juga butuh kebebasan dan hak hidup di dunia."