Semakin banyak membaca, semakin aku menyadari, bukan aku bertambah pintar, melainkan betapa selama ini aku tidak tahu apa-apa dan barangkali terlalu banyak cakap dalam ketaktahuan itu. (Y. Edward Horas S.)
Sejauh ini saya menikmati proses menulis, baik sebagai penulis media daring maupun penulis buku (pada akhirnya). Spesialisasi saya mengarang. Tulisan lain seputar humaniora, gaya hidup, dan hobi. Bersama ini, ada 742 artikel dan 8 buku.
Saya sengaja memberi waktu sebisa mungkin setiap hari untuk menulis. Sepi dan hening adalah teman baik. Mereka selalu berhasil membantu menyelesaikan tulisan.
Selama menulis, saya suka senyum sendiri membaca tulisan. Beberapa pertanyaan terlontar dalam hati. Apa sebetulnya yang baru dari tulisan saya?
Berapa persen pemikiran autentik yang saya agihkan ke pembaca? Apakah saya hanya buang-buang kata dan salin tempel begitu saja? Seberapa bermanfaatkah pembaca setelah membaca tulisan saya?
Saya merenung-renung...
Pada sisi lain, saya kagum dengan figur beberapa sastrawan terkenal. Dalam usia kepengarangan dan kesenioran berkarya, tentu, mereka punya banyak penggemar. Barangkali ada yang fanatik.
Yang memikat saya adalah dalam ketenaran itu, mereka tetap tampil bersahaja. Sederhana dengan pakaian tidak berlebih. Tidak ada tampak gaya hidup kaya atau berusaha memamerkan apa yang sebetulnya bisa dipamerkan.
Kalau dinilai kualitas karya, sudah banyak yang mendunia. Diakui para penulis lain, yang juga terkenal. Nama melambung tinggi dan gampang ditemui berbagai tulisannya. Bukankah sebetulnya bisa dibanggakan?Â
Saya jadi semakin bersemangat mengarang karena terpengaruh mereka. Ingin mengikuti gaya hidup mereka. Ingin dalam kepopuleran nanti (semoga dan amin), saya semakin mengosongkan diri dan menyadari bahwa sebaik-baik tulisan adalah soal berbagi untuk jadi manfaat.
Dari menulis sendiri, saya mulai mempelajari, bahwa benar, tidak ada yang bisa disombongkan dari setiap tulisan.
Pada dasarnya semua bisa menulis
Penulis dan pembicara pada dasarnya sama saja. Menulis dan berbicara pun demikian. Keduanya menghasilkan kata-kata dari buah pikiran. Keduanya merangkai kalimat, bisa berupa pernyataan, pertanyaan, dan seterusnya.
Hanya media dan emosi yang terasa membedakan. Kalau berucap, emosi lebih terasa dan terkadang sulit dikendalikan. Kata-kata melayang dalam udara dan tidak terekam (entah dalam hati pendengarnya).
Sementara menulis, emosi seharusnya lebih bisa dikendalikan karena ada waktu lebih banyak untuk berpendapat. Menulis rata-rata tidak spontan. Ada ketenangan yang mendorong kejernihan dan kebijaksanaan pikir. Soal media, kata-kata terabadikan di atas kertas.
Ada sumber yang diacu
Ini tidak perlu dijelaskan lebih dalam. Penulis sudah paham. Dari setiap tulisannya, pasti ada bagian yang merupakan sumber acuan. Ada materi yang membuatnya terinspirasi. Bisa kutipan, hasil penelitian, kata-kata bijak, dan seterusnya.
Dalam etika menulis, acuan nama wajib diterakan untuk menghormati penulis sumber. Kita harus legawa, memperlihatkan mana hasil pikir, mana punya orang.
Gaya menulis adalah hasil belajar
Penulis pasti belajar. Dalam membaca, ketika tertarik dan suka pada penulis tertentu, secara langsung sedikit banyak ada unsur meniru dalam tulisannya.
Ia belajar gaya menulis dari orang lain yang lebih dahulu sudah menulis. Bagaimana menciptakan narasi menarik, mengarang cerita memikat, menyimpulkan pendapat logis, dan lain-lain.
Ada yang suka ringkas dan langsung ke poin-poin. Ada yang panjang lebar dan menulis sesukanya. Ada yang memakai gaya fiksi untuk menyamarkan keluh kesah. Sebagian dari hasil meniru.
Kosakata sudah ada di kamus
Penulis butuh kata-kata untuk menyampaikan hasil pikir. Kata-kata itu tidak ada yang baru dan ditemukan sendiri dari hasil pikirnya. Semua sudah ada di kamus. Tinggal pilih dan pilah, serta ditepatkan sesuai maksud yang hendak diutarakan.
Kosakata itu sudah lengkap dengan artinya. Penulis comot saja dan seharusnya memang comot dari sana, agar tulisan benar sesuai kaidah.
Kita tidak bisa menampik, terkadang hanya merangkai ulang kata dan kalimat yang sebetulnya sama intinya dengan kata dan kalimat lain dalam tulisan orang. Supaya tidak kentara meniru.
Kalaupun ada yang baru...
Tentu, yang baru pasti ada. Hasil pikir kita. Perenungan dan logika masuk akal. Pendapat dan kesimpulan. Berapa persen itu dari seluruh kemasan tulisan kita?
Patutkah kita berbangga atasnya? Jika pun harus berbangga, adalah lebih karena pemikiran itu telah dibagi dan sedikit banyak sudah mencerahkan para pembaca.
Masalah soal tulisan kita ternilai bermutu, sekali lagi, banyak faktor yang membuatnya demikian. Paling banyak, bukan dari kita sendiri. Adalah tidak tepat jika seorang penulis jadi sombong karena tulisannya.
...
Jakarta
5 November 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H