Dari menulis sendiri, saya mulai mempelajari, bahwa benar, tidak ada yang bisa disombongkan dari setiap tulisan.
Pada dasarnya semua bisa menulis
Penulis dan pembicara pada dasarnya sama saja. Menulis dan berbicara pun demikian. Keduanya menghasilkan kata-kata dari buah pikiran. Keduanya merangkai kalimat, bisa berupa pernyataan, pertanyaan, dan seterusnya.
Hanya media dan emosi yang terasa membedakan. Kalau berucap, emosi lebih terasa dan terkadang sulit dikendalikan. Kata-kata melayang dalam udara dan tidak terekam (entah dalam hati pendengarnya).
Sementara menulis, emosi seharusnya lebih bisa dikendalikan karena ada waktu lebih banyak untuk berpendapat. Menulis rata-rata tidak spontan. Ada ketenangan yang mendorong kejernihan dan kebijaksanaan pikir. Soal media, kata-kata terabadikan di atas kertas.
Ada sumber yang diacu
Ini tidak perlu dijelaskan lebih dalam. Penulis sudah paham. Dari setiap tulisannya, pasti ada bagian yang merupakan sumber acuan. Ada materi yang membuatnya terinspirasi. Bisa kutipan, hasil penelitian, kata-kata bijak, dan seterusnya.
Dalam etika menulis, acuan nama wajib diterakan untuk menghormati penulis sumber. Kita harus legawa, memperlihatkan mana hasil pikir, mana punya orang.
Gaya menulis adalah hasil belajar
Penulis pasti belajar. Dalam membaca, ketika tertarik dan suka pada penulis tertentu, secara langsung sedikit banyak ada unsur meniru dalam tulisannya.
Ia belajar gaya menulis dari orang lain yang lebih dahulu sudah menulis. Bagaimana menciptakan narasi menarik, mengarang cerita memikat, menyimpulkan pendapat logis, dan lain-lain.