"Ayo, Bi. Lemparkan gigimu ke atas genting!"
Aku mengernyitkan dahi.
"Buat apa, Bu?"
"Kalau kamu lemparkan gigi bawahmu ke atas, nanti gigi barumu akan tumbuh sempurna ke atas. Ayo, cepat lemparkan ke atap!"Â
Dari dulu ya gigi bawah pasti tumbuh ke atas. Mana ada tumbuh ke bawah? Terbenam dalam gusi itu namanya. Aku tidak percaya kata-kata ibu.
"Lakukan saja, Bi. Lemparkan gigi itu," kakak tiba-tiba menyela.
Ya sudahlah, daripada lama-lama. Kulemparkan gigi itu kencang-kencang ke atas. Aku melihat gigi seri kecilku itu melayang bersama udara, terlempar jauh mencapai genting, menimbulkan bunyi kecil, tetapi terdengar nyaring. Selamat tinggal gigiku.
Ibuku sering aneh-aneh di rumah. Percaya ini dan itu, tanpa ada dasar. Katanya, percaya saja, tidak perlu semua dipikirkan alasannya. Waktu gigi geraham kanan atasku mau copot, ibu menyuruhku menanamnya ke dalam tanah.
Aku masih ingat, gigi itu yang akhirnya tercabut oleh dokter gigi -- aku meminta dicabut di sana karena takut-takut ibu salah cabut, apalagi gerahamku besar ukurannya -- kubawa dalam genggaman tanganku erat-erat. Gigi geraham pertamaku yang tanggal.
Ibu ternyata sudah jauh-jauh hari menggali lubang di taman teras dan memberinya batu hitam kecil sebagai pertanda kuburan gigiku. Barangkali ibu melakukannya lekas setelah melihat aku meraung-raung kesakitan ketika merebahkan diri di tempat tidur, sambil memegang dan mengelus-elus pipiku berkali-kali. Aku tidak sanggup menahan betapa sakit gigi jika akan tanggal. Apalagi, gigi itu sudah keropos karena aku keseringan makan permen.
"Tanam di sana, Bi," kata ibu seraya tangannya menunjuk lubang yang telah digalinya itu.