"Jangan nangis, Bi! Jangan nangis! Anak laki kok nangisan?" Ibu berseru dengan suara keras. Kepalaku mendadak sedikit pusing. Jari telunjuk dan ibu jari ibu mendekati gigi seriku. Kulihat benar kuteks merahnya mengilat.
"Nanti saja, Bu. Bisa tidak nanti? Aku belum mau dicabut," rengekku minta kelonggaran waktu.Â
Sejujurnya, aku sudah kesakitan karena ngilu yang terus menyerang gusiku. Gigi seri bawahku nomor dua dari kiri sejak tiga hari lalu sudah goyang-goyang, seperti hendak lepas. Tetapi, aku masih merasa, ada sedikit akarnya yang masih tertancap kuat, terutama di bagian pinggir.
Aku sempat kepikiran untuk menunda mencabut gigi itu. Bayangkan, gigi itu letaknya paling depan. Sudah tentu, setiap tersenyum, pasti terlihat orang banyak. Betapa malu aku kalau diketahui sedang ompong. Pasti teman-teman mengejekku.
"Kalau tidak lekas dicabut, nanti bisa busuk itu gigi. Duduk yang manis. Ibu biar bisa cabut dengan baik."
Aku membetulkan dudukku di atas kursi ruang tamu. Aku melihat jari-jari ibu semakin mendekati gigiku. Kini, jaraknya sejengkal telapak tangan dari mataku.Â
Aku sempat melihat kakak dari kejauhan tersenyum. Entah, senyuman itu hendak memberi semangat atau mentertawaiku. Matanya yang berisi kenangan terus memandangku.
Air mataku semakin banyak mengalir. Aku merasakan aliran itu membasahi mulai dari tepi hidung, jatuh ke bibir, sampai menetes ke bajuku. Aku berteriak semakin kencang. Tangan ibu yang satu lagi memegang tanganku.
"Tenang, tenang. Tidak sakit ini. Tenanglah!"
Aku memejamkan mata. Aku memusatkan pikiran ke gigi itu. Jantungku berdetak cepat. Aku membuka mulut lebar-lebar. Lidahku kulekatkan pada gigi itu, seperti ingin menunjukkan ke ibu bahwa gigi itu yang dicabut. Aku tidak mau, jika akhirnya gigiku tercabut, ibu salah cabut gigi. Ibu kan bukan dokter gigi. Tukang gigi saja tidak.