Keempat anak perempuan serempak tertawa. Mereka seperti menunggu. Mereka memang sepakat, untuk tidak memperlihatkan ekspresi berbeda, agar anak lelaki yang langsung bangun seusai lagu berhenti, tidak curiga dan menjadi kesusahan, menebak batu sedang dipegang siapa.
Kupikir anak lelaki itu kelimpungan. Keempat anak perempuan berhasil memainkan strategi. Sudah berulang kali kulihat, anak lelaki itu tetap saja menelungkupkan tubuhnya, terus-menerus, lantaran selalu gagal menebak posisi batu di mana. Ketika ia berhasil, otomatis, anak yang memegang batu menggantikan posisinya.
Betapa asyik mereka bermain. Anak-anak kecil memang selalu menemukan keasyikan sendiri, yang terkadang sulit dimengerti orang dewasa. Bagaimana bisa sekadar menemukan batu di tangan, wajah yang begitu gembira muncul?
Mereka seperti tiada beban. Belum banyak yang dipikirkan. Entahlah, atau mereka suka membawa santai semua masalah dan tidak ambil pusing dengannya?
"Min, sudah nunggu lama?"
Seorang wanita bertubuh tambun menghampiriku. Wajahnya begitu kukenal. Senyumnya yang gampang mengembang lebar, selalu berhasil membuat hariku cerah. Namanya Surti.
"Enggak, baru saja, kok. Belum lama!" jawabku seraya bangkit dari tempat duduk. Terdengar suara kayu bergesekan seperti derit pintu.
"Maaf ya, saya ada urusan sebentar tadi. Ini baru saja selesai antar anak ke sekolah. Untung bapaknya tidak kerja, jadi bisa dimintain tolong jaga mereka."
Aku menyilakannya duduk. Perawakannya masih seperti dulu. Rambutnya panjang dan tetap ia biarkan panjang sepertinya, sampai-sampai barangkali ketika jepitan rambut merah mudanya itu dibuka, rambut itu bisa tergerai hingga pinggul.
"Yang lain belum datang?" tiba-tiba ia menanyaiku seperti aku tahu segalanya. Boleh jadi karena ia melihat hanya aku yang duduk di teras Joglo ini. Aku menggeleng.
"Biasalah, sebentar lagi pasti datang. Tunggu saja."