Aku sudah menunggu sedari tadi. Bus yang mengantarku ke sini ternyata lebih cepat sampai daripada yang kukira. Barangkali aku salah, masih membawa bayangan kota ke desa ini. Mana ada desa yang kena macet?
Tapi, ya sudahlah, berhubung memang kebiasaanku berusaha selalu datang lebih awal -- karena aku mencoba menghormati orang lain -- kuhabiskanlah waktu menunggu dengan ikhlas, bersama bayangan-bayangan masa lalu yang tiba-tiba saja melintas, sesaat setelah aku melihat rumah berbentuk trapesium ini. Di sini, namanya Joglo.
Dadaku mendadak terasa hangat. Aku tidak kuasa bahkan kali-kali aku tidak sempat merasa, sudah ada bulir-bulir embun membasahi pipi. Sebagian kenangan memang selalu berhasil menjadi sumber bahagiaku, membuatku mampu bertahan hidup, bahkan merasa perlu untuk terus hidup, guna sekadar mengulang kenangan-kenangan indah itu.
Boleh dibilang, Joglo ini selalu mendapat tempat di salah satu bilik hatiku. Sudah cukup lama aku pergi, tetapi Joglo ini masih terawat baik. Kayu-kayu jati sebagai dinding dengan ukiran yang terpahat apik masih kokoh berdiri. Pada sekeliling Joglo, ada pagar yang juga terbuat dari kayu, tidak seberapa tinggi. Dulu, waktu kecil, aku suka melompatinya.
Pintu depan yang berwarna cokelat masih tetap cokelat bahkan sekarang lebih mengilat, seperti tidak pernah lapuk dan selalu baru. Aku sempat mencium bau pelitur, barangkali pintu itu baru saja selesai dipugar. Satu dua jendela di samping terbuka lebar. Angin masuk keluar dengan leluasa, membuat suasana Joglo selalu sejuk, meskipun matahari tidak henti memancarkan sinarnya yang terik itu.
Aku melepas sepatu. Aku melangkah masuk, seusai mendapat izin dari ketua RT setempat, yang memang sengaja ditunjuk sebagai pengurus Joglo, dari tahun ke tahun.
Banyak warga punya kenangan indah di sini. Aku tidak tahu pasti, kapan Joglo ini ada. Waktu aku lahir, Joglo sudah lebih dulu ada. Para warga menggunakannya sebagai tempat pertemuan, barang arisan, rapat RT, pemilihan kepala desa, dan lainnya, yang butuh ruangan luas dan menampung cukup banyak orang.
Karena terlalu sering warga beraktivitas di sini, barangkali mereka bersedia dengan senang hati, merogoh koceknya dalam-dalam, untuk merawat salah satu Joglo kebanggaan desa ini.Â
Aku duduk di salah satu kursi kayu tepat di sebelah kiri pintu depan. Aku menatap ke arah halaman. Dari kejauhan, anak-anak kecil sedang berlarian.
Ada sebuah pohon Mangga tumbuh tinggi besar. Ada pula pohon Jambu yang mulai berbuah. Jambu-jambu berwarna merah muda itu sempat menggodaku untuk memetiknya. Tetapi, perhatianku tiba-tiba teralihkan dengan lima orang anak kecil yang tepat di dekatku, di lantai pada tengah-tengah teras Joglo ini.
Ada tiga anak perempuan berambut panjang, yang semua rambutnya terikat dengan sebuah karet gelang, sehingga rambut itu tidak berantakan. Mereka memakai kemban berwarna-warni. Ada yang hijau gelap, hitam, dan merah. Tetapi, mereka serempak mengenakan kain jarik cokelat sebagai bawahan, termasuk satu lagi anak perempuan yang entah mengapa rambutnya pendek sekali, tidak sampai sebahu. Kurasa dia sedikit tomboi.
Bersama seorang anak lelaki, keempat anak perempuan itu duduk bertumpu pada kaki yang telah dilipat dengan saling berhadapan. Seperti berpasangan, dua mata menatap dua mata. Tanpa disuruh, anak lelaki menelungkupkan tubuhnya tepat di tengah-tengah, dengan tersangga kedua lutut dan kedua telapak tangan menyentuh lantai. Otomatis, keempat anak gadis itu bisa melihat jelas punggung anak lelaki. Â
Cublak-cublak suweng
Suwenge ting gelenter
Mambu ketundung gudhel
Pak Empong lerak-lerek
Sopo ngguyu ndelekakhe
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Aku sungguh tidak asing dengan lagu itu. Seorang anak perempuan menggerakkan tangan dari satu per satu telapak tangan kanan temannya yang sudah terbuka lebar, dengan tinggi sekepalan tangan di atas punggung anak lelaki.
Anak perempuan itu menggenggam sebuah batu kecil. Ia memegangnya dengan menguncupkan jari-jari. Aku mendengar lagu dinyanyikan sebanyak dua kali. Ketika usai, seluruh telapak tangan menutup. Batu itu entah berada di telapak tangan mana.Â
Keempat anak perempuan serempak tertawa. Mereka seperti menunggu. Mereka memang sepakat, untuk tidak memperlihatkan ekspresi berbeda, agar anak lelaki yang langsung bangun seusai lagu berhenti, tidak curiga dan menjadi kesusahan, menebak batu sedang dipegang siapa.
Kupikir anak lelaki itu kelimpungan. Keempat anak perempuan berhasil memainkan strategi. Sudah berulang kali kulihat, anak lelaki itu tetap saja menelungkupkan tubuhnya, terus-menerus, lantaran selalu gagal menebak posisi batu di mana. Ketika ia berhasil, otomatis, anak yang memegang batu menggantikan posisinya.
Betapa asyik mereka bermain. Anak-anak kecil memang selalu menemukan keasyikan sendiri, yang terkadang sulit dimengerti orang dewasa. Bagaimana bisa sekadar menemukan batu di tangan, wajah yang begitu gembira muncul?
Mereka seperti tiada beban. Belum banyak yang dipikirkan. Entahlah, atau mereka suka membawa santai semua masalah dan tidak ambil pusing dengannya?
"Min, sudah nunggu lama?"
Seorang wanita bertubuh tambun menghampiriku. Wajahnya begitu kukenal. Senyumnya yang gampang mengembang lebar, selalu berhasil membuat hariku cerah. Namanya Surti.
"Enggak, baru saja, kok. Belum lama!" jawabku seraya bangkit dari tempat duduk. Terdengar suara kayu bergesekan seperti derit pintu.
"Maaf ya, saya ada urusan sebentar tadi. Ini baru saja selesai antar anak ke sekolah. Untung bapaknya tidak kerja, jadi bisa dimintain tolong jaga mereka."
Aku menyilakannya duduk. Perawakannya masih seperti dulu. Rambutnya panjang dan tetap ia biarkan panjang sepertinya, sampai-sampai barangkali ketika jepitan rambut merah mudanya itu dibuka, rambut itu bisa tergerai hingga pinggul.
"Yang lain belum datang?" tiba-tiba ia menanyaiku seperti aku tahu segalanya. Boleh jadi karena ia melihat hanya aku yang duduk di teras Joglo ini. Aku menggeleng.
"Biasalah, sebentar lagi pasti datang. Tunggu saja."
Saat kami berbincang tentang keluarga masing-masing -- kami berbahasa Indonesia karena sudah terlalu lama tinggal di luar kota, Surti tiba-tiba menarik tanganku seperti ingin berkeliling di sekitar Joglo.
Karena sudah lama tidak bertemu, aku mengiyakan tanpa banyak tanya. Aku kembali mengelilingi Joglo yang tidak terlalu luas itu, memasuki ruang demi ruang di dalamnya. Anehnya, aku tidak bosan, meskipun tadi sudah melakukannya sendirian. Apakah kenangan bahagia memang tidak pernah membosankan?
Tidak berapa lama, ada suara mobil datang. Dua mobil, kulihat dari kejauhan. Ya, tepat seperti dugaanku, Tini dan Marni datang. Aku bersama Surti lantas kembali ke teras. Dengan bergegas, kami berlari ke arah mereka, memeluk erat-erat, lantas menciumi pipinya. Betapa kangen diriku bertemu mereka.
"Maaf, kami terlambat," kata Marni. Tini mau berucap, tetapi ia seperti menelan kembali perkataannya, karena barangkali sama dengan ucapan Marni.
"Ah! Kalian itu biasa memang. Suka terlambat. Tidak berubah, sudah tua begini, masih terlambat," kataku sembari bercanda. Kami berempat tertawa. Tanpa basa-basi, kami lekas pergi ke toilet di belakang Joglo. Masing-masing sudah membawa tas berisi sesuatu yang sudah kami sepakati sebelumnya.
Kemban Surti hijau gelap. Milik Tini tetap hitam. Marni pun masih merah. Kain jarik kami tetap sama, berwarna cokelat. Di depan cermin, aku menyisir rambut pendekku yang dari tadi sedikit berantakan.
Kami kembali ke teras Joglo. Apa pun yang terjadi, kami akan tetap melakukan kebiasaan itu. Meskipun kami sudah berada jauh satu sama lain, sulit bertemu hanya untuk bertegur sapa.
Meskipun masing-masing berupaya sebisa mungkin mengatur jadwal untuk setiap Minggu ketiga bulan Januari pada tahun kelima, berulang kali teratur demikian, berkumpul di teras Joglo ini. Meskipun Tole, teman lelaki kami itu sudah tidak mungkin lagi hadir.Â
Kami sudah berjanji, sebagai sahabat, bagaimana pun keadaannya, Joglo dan Cublak-Cublak Suweng adalah tali ikatan yang tidak bisa memisahkan kami.
Aku sudah menggenggam batu sejak datang ke Joglo ini. Aku tidak tahu, siapa yang akan kedapatan menyembunyikan batu itu nanti. Yang pasti, sehabis kami bermain, aku ingin melihat kembali pusara Tole, yang lebih dulu telah meninggalkan kami. Selamanya, bersama kenangan-kenangan indah, di Joglo ini.
...
Jakarta
19 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H