Belum lama setelah sebuah kereta lewat dan pergi, mengantar penuh sesak penumpang yang ingin pulang kampung ke desa, sebuah kereta dari arah seberang datang, juga penuh sesak dengan orang-orang yang hendak mengadu nasib di kota besar.Â
Mereka berjejalan keluar lewat pintu kereta yang kecil itu, melompat ke pinggir rel, merapikan koper-koper besar entah berisi apa, lantas berjalan menuju pintu gerbang, membawa secercah harapan dan meninggalkan beberapa kenangan.
Kedatangan dan kepergian selalu begitu. Ada yang dijumpai, ada pula yang dipisahkan. Gadis itu sedang belajar tentang perpisahan. Ia duduk di kursi tunggu. Ia mengamati satu demi satu kereta yang bergantian, lalu lalang, mengabadikan cerita baru dan meninggalkan kisah usang.
Tidak jauh dari tempat ia duduk, sepasang kekasih -- pria dan wanita -- sedang asyik masyuk, duduk berdekatan, begitu dekat seperti tanpa sekat.Â
Kulit tangan mereka bersentuhan. Tangan pria itu memegang tangan sang wanita. Ia membuka jari-jari tangan kirinya, menempelkan pada telapak tangan kanan wanita itu yang terbuka ke atas, lantas menggenggamnya dengan begitu erat. Jari-jari mereka menyatu dalam kepalan tangan yang begitu hangat.
Mereka sudah duduk cukup lama. Gadis itu bertanya-tanya, barangkali mereka memang dengan sengaja datang lebih dulu dan berjarak lebih lama dari jadwal keberangkatan kereta.Â
Bukan hal baru itu. Banyak kekasih seperti itu. Dengan sengaja menghabiskan waktu lebih lama di stasiun, untuk menghangatkan bahkan semakin hangat cinta mereka, yang sebentar lagi terpisah oleh ruang dan waktu.
Gadis itu memalingkan pandang ke sebelah kanan. Jika tadi ia sekadar sedikit menoleh, sekarang ia benar-benar memusatkan perhatian pada sepasang kekasih itu, entah sudah kekasih ke berapa yang selalu saja dilihatnya bercinta di stasiun.
"Kamu benar-benar rela, aku pergi?" tanya sang wanita.
"Mau bagaimana lagi? Ini ... demi masa depanmu," jawab si pria dengan tersenyum.
Mata wanita itu menatap lekat mata si pria. Mata pria itu pun demikian, tidak kalah kuat, menyorot tajam, seperti hendak memberitahu sesuatu yang tidak bisa terkatakan.
Pria itu sedang menipu, batin sang gadis. Tidak ada yang pernah benar-benar rela akan sebuah perpisahan. Dari sekian banyak pasangan kekasih yang ia lihat, selalu saja, perpisahan meninggalkan kesedihan.
Mereka kerap memainkan drama untuk membesarkan hati dan menguatkan diri menghadapi kenyataan panjang yang memilukan. Cinta yang terpisah ruang dan waktu sering lebih menyedihkan.
Sang wanita membuka tas merahnya, yang dari tadi dengan talinya tersampir di bahu. Ia mengambil dompet, menarik ritsleting, lantas mengeluarkan beberapa helai tisu. Ia menyeka sesuatu yang jatuh begitu saja dari matanya, membasahi sedikit rambut hitam panjangnya.
"Kamu kenapa? Ini hanya sebentar. Aku pasti sempatkan datang ke sana."
Wanita itu menepuk-nepukkan tangannya ke dada si pria. Matanya tetap menatap mata pria itu. Keduanya masih saling memandang, terus saja memandang, seperti kedua mata itu saling berbicara kendati tidak berkata-kata.
"Janji ya, kamu akan datang?" tanya sang wanita. Suaranya sedikit bergetar.
Sang gadis mengalihkan amatan ke sebelah kiri. Ada seseorang mengenakan seragam kuning berjalan tergopoh-gopoh, hendak ke arah kekasih itu. Seperti biasa, ketika kereta akan datang dan pergi, para porter berjuang mencari penghasilan.
"Mau dibantu?" tanya porter pada si pria. Sempat ia memegang sejenak koper sang wanita, yang berdiri tegak di samping kursi berwarna abu-abu. Pegangan koper tertarik ke atas.
"Oh! Tidak perlu, Pak. Aku bisa sendiri."
"Baiklah kalau begitu."Â
Porter itu meninggalkan kekasih itu dan mencari sumber penghasilan lain. Porter-porter sudah terbiasa mengalami penolakan.Â
Pagi sudah mulai panas. Mentari perlahan meninggi, menyorotkan sinarnya pada atap seng stasiun, lantas terpantul ke arah pinggir rel, tepat menyinari sepatu pantofel si pria.
"Kamu benar, rela aku tinggalin?" sang wanita bertanya kembali. Kali ini tangannya membelai pipi si pria yang sempat menengok ke arah gadis itu.
"Demi cinta, mau tidak mau harus rela. Untuk masa depanmu, aku pasti rela. Untuk kemajuan kariermu. Masa depan kita nanti."
Gadis itu mendengar jelas percakapan mereka. Sang wanita akan pergi ke tempat lain untuk sekolah lagi. Tentu, si pria akan ditinggalkan selama beberapa waktu. Barangkali setahun, dua tahun, atau bisa lebih dari itu. Benarkah seorang pria bisa bertahan lama untuk setia tanpa cinta di dekatnya?
Mendadak toa pengumuman berbunyi. Petugas stasiun memberitahukan bahwa kereta yang akan mengantarkan sang wanita sekolah sebentar lagi datang. Sepasang kekasih itu berdiri.
Orang-orang di sekitar pun bersiap-siap. Mereka mendekat ke pinggir rel. Kaki mereka berdiri tepat di atas garis pembatas. Seorang petugas memberi aba-aba dengan mengibarkan bendera kecil. Sebuah peluit ditiup panjang.
"Aku tunggu kamu di sana," kata wanita itu. Ia kini memeluk tubuh si pria. Wajahnya berhadapan tepat pada bahu si pria. Kemeja putih yang pria itu kenakan berubah cokelat, menampakkan kulit bahunya yang tegap. Air mata mengalir membasahinya.
Sempat pula sang gadis melihat wajah si pria. Kendati si pria tidak menatap sang wanita, pandangannya yang ke arah kereta yang sedang mendekat tidak mampu menyembunyikan kesedihan.
Pria itu juga menangis. Bulir-bulir bening jatuh, belum sempat menetes ke tanah, ia sudah dengan cepat menyekanya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan sang wanita. Pria terkadang memang pura-pura tegar, kendati hatinya harus hancur berantakan.Â
Sang wanita masuk ke dalam gerbong. Ia melambaikan tangan ke arah si pria. Si pria menyambutnya dengan juga melambaikan tangan. Kereta pun berangkat.
Pemandangan seperti itu semakin biasa dilihat sang gadis. Tidak hanya kekasih itu, pasangan-pasangan kekasih lain pun demikian. Sang gadis bergeser dari tempat duduknya. Ada seorang kakek menempati tempat duduknya.
Kini, pemahaman gadis itu tentang perpisahan mulai berubah. Ia jadi mengerti bahwa kerelaan seseorang melepaskan pribadi yang dicintainya sering meninggalkan kesedihan mendalam.
Terlalu banyak pelukan dalam kenangan. Terlalu banyak sentuhan dalam ingatan. Terlalu banyak tangisan dalam kepergian. Begitu mudah orang meneteskan air mata. Suara terbata-bata sering terucap, penuh emosi, seperti tidak ingin dan tidak kuat menghadapi kerinduan yang akan panjang.
Meskipun jarak dan waktu bisa seolah-olah terasa dekat dengan kehadiran gawai dan bahkan kemajuan teknologi lain, tetap saja, merasakan seseorang duduk di samping, membelai lembut rambutnya, lantas dengan leluasa dan begitu hangat bisa menyandarkan kepala di bahunya, adalah hal-hal yang selalu dinanti sepasang kekasih yang sedang mengalami perpisahan.
Ya, betapa ia mulai menerima hal-hal itu dan melupakan masa lalunya. Ia mulai mengerti, begitulah cinta sesungguhnya. Perlahan, satu pertanyaan besar muncul seusai ia melihat sebuah kereta lain lewat dengan kencang.
Seperti ada bayangan yang mengingatkan waktu ia pertama dan untuk terakhir kalinya berpisah dengan kekasihnya. Saat itu, mendadak ia terpeleset di pinggir rel. Ia terjatuh dari ketinggian satu meter, terperosok ke atas rel yang berbatu.Â
Kepalanya membentur rel. Dahinya berdarah. Sejenak ia merasakan pusing. Pandangannya buyar. Ia berusaha bangkit, menyadarkan dirinya, tetapi tiba-tiba sebuah kereta datang dengan begitu kencang.
Ada suara seperti sesuatu tertabrak. Tubuhnya terpelanting beberapa meter. Ia terimpit. Badannya terlindas roda kereta. Beberapa orang berlarian. Ibu-ibu di sekitar berteriak. Banyak yang berseru minta tolong. Kereta masih berusaha menghentikan laju.
Ketika ia keluar selintas dari raganya, masih sempat ia memandang kembali wajah kekasihnya dari kejauhan. Kendati agak samar, ia bisa memastikan bahwa kekasihnya tertawa. Tergelak-gelak. Sama sekali tidak merasa kehilangan. Ia semakin yakin sekarang, kekasih itu tidak benar-benar mencintainya. Â
...
Jakarta
29 September 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H