Pria itu sedang menipu, batin sang gadis. Tidak ada yang pernah benar-benar rela akan sebuah perpisahan. Dari sekian banyak pasangan kekasih yang ia lihat, selalu saja, perpisahan meninggalkan kesedihan.
Mereka kerap memainkan drama untuk membesarkan hati dan menguatkan diri menghadapi kenyataan panjang yang memilukan. Cinta yang terpisah ruang dan waktu sering lebih menyedihkan.
Sang wanita membuka tas merahnya, yang dari tadi dengan talinya tersampir di bahu. Ia mengambil dompet, menarik ritsleting, lantas mengeluarkan beberapa helai tisu. Ia menyeka sesuatu yang jatuh begitu saja dari matanya, membasahi sedikit rambut hitam panjangnya.
"Kamu kenapa? Ini hanya sebentar. Aku pasti sempatkan datang ke sana."
Wanita itu menepuk-nepukkan tangannya ke dada si pria. Matanya tetap menatap mata pria itu. Keduanya masih saling memandang, terus saja memandang, seperti kedua mata itu saling berbicara kendati tidak berkata-kata.
"Janji ya, kamu akan datang?" tanya sang wanita. Suaranya sedikit bergetar.
Sang gadis mengalihkan amatan ke sebelah kiri. Ada seseorang mengenakan seragam kuning berjalan tergopoh-gopoh, hendak ke arah kekasih itu. Seperti biasa, ketika kereta akan datang dan pergi, para porter berjuang mencari penghasilan.
"Mau dibantu?" tanya porter pada si pria. Sempat ia memegang sejenak koper sang wanita, yang berdiri tegak di samping kursi berwarna abu-abu. Pegangan koper tertarik ke atas.
"Oh! Tidak perlu, Pak. Aku bisa sendiri."
"Baiklah kalau begitu."Â
Porter itu meninggalkan kekasih itu dan mencari sumber penghasilan lain. Porter-porter sudah terbiasa mengalami penolakan.Â