Tidak ada yang tahu persis siapa penyebab wabah itu terjadi -- sepertinya tidak cukup untuk dibilang sekadar masalah kecil -- di desa tempat Marni tinggal. Bila dihitung-hitung dan dibandingkan dengan jumlah warga yang hanya seratus orang dengan seorang kepala desa yang terus saja bingung -- tidak tahu bagaimana mencari solusi seperti apa untuk menangani wabah itu -- jumlah tikus-tikus itu berkali lipat banyaknya.
Setiap malam mereka serempak keluar dari tempat persembunyian, mencicit keras, bahkan lebih keras dalam keheningan malam, berjalan dan berlari cepat bersama embusan angin di tengah jalan, menepi ke pinggir jalan dekat parit, lantas masuk lewat celah dan lubang ke rumah satu demi satu warga, membuat keributan di sana dan tidak berapa lama bunyi nyaring seperti panci yang dilemparkan keras dan terbentur dinding saling bersahutan dari rumah ke rumah, dari setiap ibu yang tidak tahan dan tidak kuat melihat wajah tikus yang menjijikkan itu.
Jikalau salah satu ibu berhasil membinasakan tikus yang hitam legam itu, ia akan menganggapnya sebagai upaya yang pantas disebut setara dengan pahlawan yang sudah berjasa besar, karena para ibu itu tahu betapa sukar menangkap tikus bahkan sering kelelahan waktu mengejar tikus itu berlarian.Â
Mereka pun kesulitan menebak di mana tikus-tikus itu bersembunyi. Tidak jarang ditemui setiap malam, rumah para warga berantakan, barang-barang berserakan, terhambur ke mana-mana tidak karuan, seperti kapal pecah yang sebentar lagi karam.
Malam di desa itu sama saja dengan situasi ketika pagi dan siang waktu para warga beraktivitas. Tidak ada istirahat dalam sehari. Mereka selalu saja membuka mata dan mulai berjaga-jaga saat matahari sudah terbenam dan senja sudah meninggalkan jejaknya.Â
Tikus-tikus itu akan memakan apa saja barang yang mereka temui di dalam rumah. Sebagian warga mengamankan makanan yang terletak di atas meja makan dengan tudung saji berlipat-lipat, meskipun mereka tahu tikus-tikus itu akan berhasil menembusnya dengan menggerogoti lewat gigi tajamnya.
Pada satu rumah, Marni masih tenang saja, duduk di kursi dekat meja makan. Ia mengambil piring dari rak, menyajikan nasi di atas piring itu, lantas membuka tudung saji dan menaruh lauk ikan goreng ke atas piring.Â
Tudung saji itu ia biarkan terbuka, memang sengaja ia biarkan terbuka, agar para tikus itu yang baginya selalu terlihat kelaparan dan terus mencari makan dapat dengan mudah mendapatkan makanan.Â
Marni menganggap dirinya sebagai manusia harus hidup berdampingan dengan hewan, apa pun bentuknya. Bumi ini diciptakan tidak hanya untuk manusia, melainkan juga bagi hewan dan tumbuhan.Â
Ia berpikir suatu kali manusia terlalu jahat menguasai seluruh tempat sampai terkadang mengambil habitat hewan sehingga mereka terganggu dan menyerang tempat tinggal manusia.
Itulah yang ia percayai seusai sawah di desa itu -- satu-satunya sawah yang tertinggal -- dijual oleh kepala desa berdasarkan kesepakatan seluruh warga desa kepada salah seorang pengembang yang mengetahui bahwa potensi pantai berpasir putih di sebelah selatan desa itu adalah sangat bagus jika dikembangkan.Â