Pada malam lain, seperti kebiasaan malam-malam sebelumnya, Marni tetap membuka tudung saji. Ia mengunyah nasi dan ikan goreng pada bibirnya yang keriput itu dan sangat perlahan karena giginya sudah pada tanggal.
Ia menikmati ikan yang digorengnya sendiri tanpa seorang pun menemani selain tikus-tikus itu yang tiba-tiba saja sudah ada di atas meja makan, seperti sedang bersiap menyantap ikan goreng.
Tikus-tikus itu menggesekkan kedua tangan kecilnya. Kumisnya bergerak-gerak seperti membaui ada makanan enak yang sebentar lagi disantap.
Benar saja, tanpa ada perintah dan aba-aba, seketika setelah Marni membuka tudung saji, tikus-tikus itu menyantap habis tumpukan ikan goreng dalam sekejap.
Tidak hanya itu, Marni pun membiarkan tikus-tikus itu merangsek masuk ke kamar mandi, memakan sabun batangan yang dibiarkan terbuka, menggigiti pasta gigi dan isinya, bahkan kapur barus yang tergeletak sebagai pengusir kecoak tidak terlewat dimakannya.
Tikus memang suka makan apa saja. Tikus pun terlalu rakus dengan apa saja. Seperti sebagian manusia yang terkadang terlalu rakus, demi perutnya sendiri, makan ini dan itu, entah itu boleh atau dilarang, sampai-sampai mengambil hak milik orang lain.
Marni tidak keberatan ikan gorengnya habis dimakan tikus. Hanya tikus-tikus itu yang menemani masa tuanya. Tetangga sekitar enggan berdatangan barang menengok kesehatannya, sekadar melihat keberadaannya.
Mereka takut kena tulah, karena Marni dianggap sebagai perempuan pendatang kutuk mandul. Sudah beberapa kali laki-laki dinikahinya, tetap saja tidak punya anak. Ia dicap begitu rupa, tidak seperti perempuan-perempuan di desa itu, yang terus saja gemar beranak seperti tikus-tikus yang sekali beranak mampu melahirkan banyak anak.
Entah karena naluri binatang, tikus-tikus itu tahu bahwa rumah Marni terbuka untuk mereka. Secara terang-terangan, Marni pun melihat dengan jelas, tikus-tikus itu naik ke atas atap, berdiam dalam loteng, berlarian ke sana kemari, dan kemudian bersama bertambahnya hari dan kemurahan hati Marni, tikus itu terus beranak-pinak, beranak-pinak, sampai jumlahnya tidak lagi terhitung dan loteng rumah Marni penuh sesak dengan tikus-tikus itu.
Demikianlah, setiap malam mereka keluar dari rumah Marni, berlarian menyelusup ke rumah-rumah warga yang lain, mengambil apa pun yang bisa diambil, mencuri apa pun yang bisa dicuri, membuat para warga kelabakan, tidak bisa tidur pada malam hari, dan desa itu seperti kota yang selalu hidup setiap saat, tidak ada keheningan dan ketenangan.
Tikus-tikus itu terus saja bertambah jumlahnya. Meskipun ada yang berhasil membunuhnya, itu tidak sebanding dengan pertambahan yang berkali-kali lipat.