Saya pun ikut masuk. Saya berjalan di belakang bapak itu. Mata saya melirik ke sekitar. Di ruang tamu, sebagian keluarga besar mendiang berkumpul. Mereka bersalam-salaman dengan para pelayat. Sementara keluarga inti -- anak-anak mendiang -- masih berada di ruang tengah.
Ruang tamu dan ruang tengah terpisah oleh sebuah pintu. Tanpa sepengetahuan orang-orang, saya menyelusup ke ruang tengah. Saya membuka pintu itu. Kebetulan tidak terkunci.
"Manto?"
Terdengar suara memanggil.
"Kamu Manto, bukan?"
Terdengar langkah kaki mendekat. Saya menatap lantai. Topi menutup sebagian wajah saya. Lelaki berjas hitam menghampiri. Sepertinya ia masih ingat perawakan saya.
"Ke mana saja, kamu? Kami sudah rindu. Masak bapak sudah meninggal, kamu baru pulang?" Paman memeluk saya. Saya meneteskan air mata di bahunya. Saya merasa bersalah. Masih bercampur dengan rasa takut, saya datang.
"Dasar anak kurang ajar! Ngapain kamu datang lagi ke sini?" Ibu yang lebih muda itu berkacak pinggang. "Kamu tidak tahu diri! Giliran bapak sudah mati, kamu baru datang!" sentaknya. Urat-urat lehernya tegang. Matanya membelalak. Saya masih menatap lantai.
"Kamu masih punya muka? Hah? Masih berani kamu menginjakkan kaki di rumah ini?" Bapak yang paling tua mengoceh. Tubuh saya mendadak berkeringat dingin.
"Sudah, sudah! Bukankah ini yang kalian mau?" jawab paman.
Sebetulnya saya tidak berani menghadap abang dan kakak, tetapi istri saya mendesak. "Sudahlah, lupakan perilaku mereka. Kali ini saja karena bapak meninggal, kamu sebaiknya pulang," begitu katanya.Â