"Bapak masak tidak tahu ceritanya?"
Pelayat itu memandang saya. Saya menelan ludah. Ia menatap lekat seperti ingin menebak-nebak siapa saya. Ia melemparkan pandangannya ke ujung topi saya, pelan-pelan ke bawah, sampai sepatu pantofel saya.
"Oh!" katanya lanjut, "Pantas Bapak tidak tahu. Bapak bukan warga sini. Bapak datang dari mana?"
Saya tersenyum kecil.
"Saya kenal mendiang sudah lama, Pak. Kebetulan, saya tahu setelah melihat berita duka mendiang dari surat kabar. Ini pun saya baru tiba tadi pagi di bandara."
Pelayat itu mendeham.
"Iya, Pak, coba bayangkan. Sampai mendiang meninggal, kedua anaknya tidak pulang. Bapak bisa bayangkan, bagaimana perasaan mendiang ketika menyambut ajal?"
Saya terdiam. Saya tahu, itu pasti menyedihkan. Meskipun ada masalah antara anak dan orangtua, tidaklah elok jika sampai menjelang kematian, sang anak masih bersikeras tidak mau pulang. Jika benar-benar tidak pulang, masalah itu pasti luar biasa berat dan sulit diselesaikan.
"Memangnya, ada masalah apa, Pak, sampai anak itu tidak pulang?" tanya saya.
Pelayat itu tidak menjawab. Ia lekas bangkit dari tempat duduk. Ia melihat antrean pelayat sudah sepi.
"Nanti kita lanjutkan ya, Pak. Saya mau melayat dulu," jawabnya.