Ada beberapa roti terbungkus plastik tertumpuk dan barisan gelas air mineral di atas meja di teras. Seorang pelayan rumah tangga membagikan satu demi satu untuk para pelayat.
"Sudah, sudah! Kalian tidak malu, apa? Orang-orang masih datang, kalian malah marah-marah. Kalau kalian ingin cepat, dengarkan kata-kata saya. Cari mereka!" bentak lelaki berjas hitam.
Ia berdiri kembali. Kedua tangannya bersedekap di dada. Bapak yang paling tua dan ibu yang lebih muda tertunduk. Amarah meredam begitu saja. Mereka tidak berani melawan paman mereka. Alangkah sebuah kebetulan, paman yang bekerja sebagai pengacara ditunjuk mendiang menjadi pembagi warisan.Â
Mendiang adalah seorang pengusaha kaya raya di desa itu. Ia punya sebuah toko grosir, menjual berbagai keperluan rumah tangga. Toko cabangnya ada dua puluh, semua tersebar di pelosok desa. Ia juga punya sepuluh bengkel dan mempekerjakan puluhan montir. Sepertiga luas tanah di desa itu adalah miliknya.
Siapa yang tidak tergiur dengan harta itu? Siapa yang tidak berjuang untuk mendapatkannya? Jika pemiliknya sudah tiada, betapa beruntung orang-orang yang beroleh warisan darinya.
Dalam kaya rayanya itu, mendiang masih mengingat orang lain. Beberapa persen dari penghasilannya selalu ia berikan sebagai santunan untuk anak yatim piatu. Beberapa lagi ia sumbangkan untuk membangun dan memelihara tempat ibadah di seluruh wilayah desa.Â
Setiap ada kegiatan masyarakat, ia kerap menjadi penyumbang dana terbesar. Ia tidak pernah ragu dalam memberi. Baginya, seseorang tidak akan pernah miskin karena memberi. Tidak heran, sudah hari kesepuluh, orang-orang masih banyak berdatangan, menyatakan duka dan kehilangan yang mendalam.
Saya satu di antara mereka. Malam itu, saya datang ke rumah itu. Sendirian tanpa didampingi istri. Sempat saya ragu untuk masuk ke dalam. Saya berbincang sejenak dengan para pelayat.Â
Saya memakai kacamata hitam. Kumis saya pun hitam dan begitu tebal. Janggut saya memanjang ke bawah, juga hitam. Saya mengenakan topi hitam dan kemeja hitam pula. Kata orang memang, tidak ada lagi busana yang lebih menggambarkan kedukaan selain yang berwarna hitam.
"Kasihan ya, Pak, Pak Sarmin," kata seorang pelayat yang duduk di sebelah saya. Kami bercakap di bawah tenda hitam yang begitu lebar. Beberapa pelayat lalu-lalang di depan kami. Sebagian antre masuk ke dalam rumah.
"Memang kenapa, Pak?" jawab saya pelan. Saya membuka tutup gelas air mineral. Setelah makan roti, saya meminumnya.