Di sini ada babi. Ada kelinci. Ada pula burung Merpati. Kau duduk di dekat sangkar burung itu, bersiul-siul, berbicara entah apa. Merpati itu merespons dengan mengangguk kecil seraya mendekatkan kepala ke pintu sangkar, seperti meminta keluar dan ingin hinggap di bahumu.
Aku harus menerima kenyataan bahwa menikah dengan seorang pecinta hewan, sudah tentu sekaligus mencintai hewan-hewannya. Meskipun terkadang aku jijik dengan kotoran yang sesekali bertebaran, otak binatang yang tidak bisa diajari buang air kecil, belum lagi makanan yang terserak di sana-sini, keluar dari tempatnya.
Ya, aku bilang sesekali, karena kau langsung sigap membersihkan pada sela-sela waktumu setiap pagi. Ketika kelinci berwarna putih dengan garis kehitam-hitaman di punggung yang kau biarkan melompat-lompat di ruang tamu kita sudah selesai makan, maka kurang dari waktu semenit, kau langsung mengambil sapu dan pengki, lantas lantai itu kembali kinclong dari ampas makanan yang kelinci keluarkan berbentuk bulat dan kering.
Masalah Merpati, kau pun selalu rajin menyiapkan makanan dan minuman pada tempatnya setelah kau selesai mandi pagi. Aku hafal rutinitasmu. Bangun tidur, menciumku, berbisik selamat pagi sayang, merapikan selimut, pergi ke ruang tamu, melepaskan kelinci dari kandang, mandi pagi, lantas beranjak ke teras dan seusai memenuhi kebutuhan hidup burung itu, kau akan bersiul-siul, berbicara entah apa.Â
Masih berlanjut seputar hewan. Aku tidak pernah tahu, mengapa engkau memilih babi, kelinci, dan Merpati sebagai hewan peliharaan dalam rumah. Sebelum kita menikah, ketiganya sudah ada di rumahmu. Sejak kita tinggal di rumah baru ini, ketiganya kau bawa lengkap dengan kandang-kandangnya.
Katamu, dari binatang peliharaan, kau melatih kepekaan akan kasih sayang. Sesuatu yang tidak kau dapatkan di rumahmu. Di mana ayah dan ibumu terlalu sibuk bekerja, sampai-sampai mereka berangkat dan pulang tidak pernah sempat bercakap denganmu. Kau sudah keburu tidur, karena terlalu pagi dan malam yang begitu larut.
Kau sebetulnya ingin menegur bahkan memarahi mereka, mengapa punya anak tidak disapa barang sekali dalam sehari? Kau tidak mau membandingkan SMS, WA, bahkan video call yang rutin mereka lakukan sama dengan kenyamanan bertemu langsung empat mata, saling bercakap, dan bertanya kabar. Tetapi, apa daya, bertemu saja tidak bisa.
Syukur, kau beroleh dan mengerti kasih sayang dari hewan-hewan peliharaanmu, yang paman belikan untukmu. Mereka sudah menemanimu sedari lama, tetap ada saat kau senang, bahkan sesekali bergerak-gerak mempertontonkan perilaku bodoh dan lucu, seperti ingin menghiburmu saat susah.Â
Kau berteriak dalam hati, "Jika bukan karena hewan-hewan ini, mungkin aku sudah mati bunuh diri. Buat apa, kekayaan melimpah tetapi perhatian begitu dingin?"
Dari Merpati, kau belajar ketulusan. Burung Merpati akan tetap setia pada pasangan, sampai salah satunya tiada. Begitu katamu, waktu melamarku di kafe itu. Aku tersipu malu. Kita hanya berdua saja. Mataku kukedipkan berkali-kali.