Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rahimku Masih Kosong

31 Agustus 2021   12:08 Diperbarui: 31 Agustus 2021   12:14 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita yang gelisah karena belum punya anak, sumber: Pexels.com/Felipe Cespedes            

Entah, sudah bugil ke berapa aku menampilkan diriku padamu. Aku harap kebersamaan kita malam ini membuahkan hasil. Kau masih melihat ponsel.

"Nanti! Aku lelah! Kau tidak tahu, aku banyak pekerjaan hari ini?"

Tiba-tiba kau marah. Sekilas, hilang nafsuku. Aku naik darah. Tidak bisa berkali-kali kau perlakukan aku begini. Aku sudah terlalu sabar menanti. Aku sudah menahan diri tidak membalas ejekan teman-temanku karena terus menunda anak. Mengapa kau seperti mengabaikanku?

Kau membuka pintu kamar. Kau keluar kamar. Kau tutup pintu itu dengan keras.

"Brak."

Terdengar seperti sesuatu dibanting.

Aku tertunduk lesu di tempat tidur. Aku serakkan seprai. Aku tarik kencang gorden jendela. Kupecahkan cermin di dinding. Aku berteriak kencang seperti orang gila. Aku tidak menyangka, orang yang tinggal serumahku benar-benar sudah gila.

Apa aku tidak cantik? Apa aku kurang menarik? Kurang baik apa diriku? Sabar seperti apa lagi yang kau harap dariku? Kau tidak pernah merasakan, betapa aneh pandangan orang-orang pada perempuan yang sudah menikah lama tetapi belum punya anak. Aku dikira mandullah, pembawa siallah. Aku sungguh malu.

Di kamar terpisah, kau merebahkan diri. Matamu melirik ke sebelah kiri, menatap lekat dengan segumpal amarah pada sebuah foto usang yang tertempel di dinding. Bola matamu membesar. Foto itu tidak lain adalah ibumu yang sedang menggendongmu waktu kecil. 

Betapa ingin rasanya kau luapkan kesal, tetapi tidak mungkin. Ibumu sudah lama meninggal. Tidak berani pula kau mengumpatnya. Kau takut terkena kutuk.

Akhirnya, kau pun menerima paksaan darinya untuk menikah. Kau mengalah demi membahagiakan ibumu. Meskipun hatimu menyesal. Ragamu menolak. Jiwamu tersiksa.

Kau tidak menemukan bahagia. Dalam tubuh laki-lakimu, kau sudah lama sadar, jiwamu perempuan.

...

Jakarta

31 Agustus 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun