Entah, sudah bugil ke berapa aku menampilkan diriku padamu. Aku harap kebersamaan kita malam ini membuahkan hasil. Kau masih melihat ponsel.
"Nanti! Aku lelah! Kau tidak tahu, aku banyak pekerjaan hari ini?"
Tiba-tiba kau marah. Sekilas, hilang nafsuku. Aku naik darah. Tidak bisa berkali-kali kau perlakukan aku begini. Aku sudah terlalu sabar menanti. Aku sudah menahan diri tidak membalas ejekan teman-temanku karena terus menunda anak. Mengapa kau seperti mengabaikanku?
Kau membuka pintu kamar. Kau keluar kamar. Kau tutup pintu itu dengan keras.
"Brak."
Terdengar seperti sesuatu dibanting.
Aku tertunduk lesu di tempat tidur. Aku serakkan seprai. Aku tarik kencang gorden jendela. Kupecahkan cermin di dinding. Aku berteriak kencang seperti orang gila. Aku tidak menyangka, orang yang tinggal serumahku benar-benar sudah gila.
Apa aku tidak cantik? Apa aku kurang menarik? Kurang baik apa diriku? Sabar seperti apa lagi yang kau harap dariku? Kau tidak pernah merasakan, betapa aneh pandangan orang-orang pada perempuan yang sudah menikah lama tetapi belum punya anak. Aku dikira mandullah, pembawa siallah. Aku sungguh malu.
Di kamar terpisah, kau merebahkan diri. Matamu melirik ke sebelah kiri, menatap lekat dengan segumpal amarah pada sebuah foto usang yang tertempel di dinding. Bola matamu membesar. Foto itu tidak lain adalah ibumu yang sedang menggendongmu waktu kecil.Â
Betapa ingin rasanya kau luapkan kesal, tetapi tidak mungkin. Ibumu sudah lama meninggal. Tidak berani pula kau mengumpatnya. Kau takut terkena kutuk.
Akhirnya, kau pun menerima paksaan darinya untuk menikah. Kau mengalah demi membahagiakan ibumu. Meskipun hatimu menyesal. Ragamu menolak. Jiwamu tersiksa.