Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rahimku Masih Kosong

31 Agustus 2021   12:08 Diperbarui: 31 Agustus 2021   12:14 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita yang gelisah karena belum punya anak, sumber: Pexels.com/Felipe Cespedes            

"Jangan dulu! Aku harus sekolah lagi. Tidak mungkin dengan gelarku sekarang, aku bisa menjabat posisi direktur. Lagipula, bagaimana kita menyuruh anak kita nanti sekolah tinggi-tinggi jika bapaknya hanya lulusan diploma? Aku tidak bisa memecah konsentrasi. Aku takut tidak becus mengurus anak."

Kau berkilah lagi. Aku menutup kembali tubuhku yang mulai kedinginan. Kau bersandar di sofa itu. Kau mengambil sebuah buku, seperti catatan pelajaran. Kau diam-diam sudah kuliah lagi, ya?

Aku sadar memang, mengurus anak tidak bisa sendiri. Teman-teman perempuanku pun bilang begitu. Selalu ada peran bapak dalam membesarkannya. Seorang ibu pun punya pekerjaan lain selain memomong anak. Aku tidak mau kerepotan sendiri. Baiklah, kutunggu dirimu selesai sekolah.

Aku kagum dengan niatmu belajar. Kau selalu tekun dalam membaca diktat-diktat tebal itu. Kau pun lihai dan pandai mengambil hati dosen-dosenmu. Jujur, kau memang cerdas. Masa sekolah empat tahun total untuk lanjut sisa S1 dan ambil S2 kau lewati hanya tiga setengah tahun. Kau lulus dengan peringkat cum laude. Aku bangga sekali. Istri mana yang tidak senang bila suaminya terpelajar? Pintar pula.

Aku juga suka perilakumu sebagai suami yang membebaskanku untuk tetap bekerja di perusahaan percetakan tempatku dulu bekerja. Kau tidak mengekang seorang istri harus di rumah saja. Kau tidak menaruh curiga dan bisa menghargai privasiku selama bekerja di kantor. Setidaknya, dengan bekerja, aku bisa mengalihkan perhatian sejenak atas kejengkelanku terhadap sikapmu yang terus menunda punya anak.

Pada perangai lain, kau tidak menuntut macam-macam soal makanan yang harus kumasak. Kau tidak pernah mengomel jika aku lupa bersih-bersih rumah. Aku terpesona dengan caramu menerimaku apa adanya. Aku pun mencoba terus memahami sifatmu. Bukankah suami istri pada dasarnya ada karena saling menerima?

Kini kita sudah punya rumah. Kau sudah lulus S2. Kau pun terpilih jadi direktur berkat kerja uletmu. Besok pelantikanmu sebagai direktur. Aku begitu bangga bisa menemanimu, berdiri disaksikan banyak orang, lantas diambil sumpah untuk bekerja keras dan loyal pada perusahaan.

Selama aku menanti kita punya anak, aku selalu merawat diriku rutin ke dokter kecantikan. Aku merawat buah dadaku tetap indah agar menggairahkanmu. Aku senam dua kali seminggu untuk pinggulku tetap menawan. Aku menjaga pola makanku supaya badanku tetap langsing dan perutku tidak penuh lemak. Tanpa sepengetahuanmu, aku pun menanam susuk pada wajahku, agar terus cantik dan menarik.

Ya, aku tahu, lelaki sampai umur berapa pun, tetap lebih suka wanita yang terlihat lebih muda dan menggoda. Terkadang aku tidak percaya dengan ucapan gombal kakekku yang mengatakan nenek masih cantik, padahal sudah keriput di sana-sini. Giginya pun sudah ompong. Pasti karena lain hal, mereka masih bertahan.

"Ayo, Yang, kapan lagi kita punya anak?"

Aku membelai lembut wajahmu. Aku membuka kancing dan melepas kemejamu. Kau tidak bergerak. Kau tidak menatapku. Kau malah sibuk melihat ponsel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun