"Terima kasih, lho, Kek. Terima kasih banyak. Berapa ini harganya?"
"Terserah!"
"Lah, tidak ada tarif, Kek?"
"Saya itu tahu, penulis itu tidak banyak pemasukan uangnya. Kalau betul-betul terkenal, mungkin bisa kaya. Tetapi itu satu dari sekian banyak. Apalagi kamu, yang baru anak kemarin sore di dunia tulis-menulis."
"Sudah! Serelamu saja."
Pembeli itu mengambil sebuah amplop dari saku celana. Ia tidak melihat isinya. Sepertinya sudah dipersiapkan sedari tadi. Setelah menyalam tempel sang kakek, ia pergi.
"Ayo, berikutnya!" teriak Kakek dari dalam. Seorang wanita dengan nomor antrean ke-49 masuk. Saya masih menunggu di luar. Setelah ini, pasti saya yang dipanggil.
Beberapa orang dengan nomor antrean di belakang saya masih setia menunggu. Ada yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Ada yang membaca buku sambil terkantuk-kantuk. Mereka rela menunggu untuk mendapatkan khayalan. Ya, tanpa khayalan, bagaimana seorang penulis bisa menulis cerita?
"Anda mau nulis apa?" kakek itu mulai bicara.
Tanpa berpikir lama, wanita itu menjawab, "Saya mau ngarang soal pelacur, Kek. Tapi, pelacur yang tidak seperti cerita-cerita sebelumnya. Ada tidak, Kek, khayalan tentang pelacur unik?"
"Oh, ada. Di sini, semua khayalan tentang apa pun pasti ada."