Siapa penulis cerita fiksi yang tidak butuh khayalan? Baik pengarang novel, cerpen, roman, hikayat, maupun karya sastra lain, kendati ada beberapa kisah nyata yang begitu mudah dituliskan karena langsung dialami sendiri, tetap saja di sana-sini bagian cerita butuh khayalan.Â
Bagaimana menulis dengan baik setiap detail kejadian. Bagaimana menggambarkan dengan cermat semua ekspresi yang dirasakan. Bagaimana pula mencari ide yang memikat dari awal sampai akhir. Itu semua hanya karena daya khayal yang tinggi.
Penjual khayalan itu mengelus-elus janggutnya. Janggut putih itu ia biarkan memanjang ke bawah. Ia mengikat bagian janggut yang terdekat dagu dengan sebuah karet gelang.
"Bapak mau nulis cerita apa?"Â
"Tahu saja, Kek, saya butuh bantuan Kakek."
"Tidak usah basa-basi! Yang antre di belakang Bapak banyak. Langsung saja ke pokok masalah. Bapak ingin nulis cerita fiksi tentang apa?"
Pembeli itu tertegun. Ia merasa sedikit tidak enak.Â
"Saya mau nulis cerita tentang pendekar, Kek. Soal pahlawan. Tapi, saya sulit membayangkan bagaimana peradaban zaman dulu. Bagaimana bentuk rumah-rumah kuno dan kebiasaan leluhur pada masa lampau. Saya juga tidak tahu, cara mengagihkan cerita epos yang menarik dan berbeda dengan yang lain. Saya mohon bantuan Kakek."
Kakek itu tersenyum. Ia kembali mengelus-elus janggut. Tangan kanannya mengambil dari dalam laci, sebuah kantung plastik kecil seperti bungkus obat, berisi serbuk berwarna hitam, lantas memberikannya pada pembeli itu.
"Kamu sudah orang ke-5 yang minta khayalan soal pendekar. Ini saya beri untukmu. Minum malam ini! Besok malam, kamu akan lancar menulis cerita pendekar. Ingat! Minum sebelum makan malam," kata kakek itu sambil menyodorkan kantung.
Ada kilatan mata berbinar-binar yang muncul begitu saja dari pembeli itu. Saya melihat dari luar. Ia sedikit tertawa, seperti sangat bersukacita tetapi malu memperlihatkan.