Aku tidak pernah tahu mengapa Pencipta begitu baik menghadirkan pohon itu dan berbagai tanaman di sekeliling sebagai salah satu makhluk paling berguna di antara manusia dan hewan. Beberapa kali kulihat para manusia berteduh dari serangan terik matahari dan lebat rintik hujan di bawahnya.Â
Beberapa binatang berbentuk serangga dan hewan bersayap selalu bertengger pada sela-sela rantingnya, membentuk sarang, dan sesekali menyerap sari-sari makanan dari batang yang cokelat dan kekar itu.Â
Mereka juga setia setiap siang menghadirkan oksigen yang merasuk ke dalam penciuman setiap makhluk, melebur dalam aliran darah, dan mengalirkan kehidupan bagi siapa saja tanpa mengenal seberapa tinggi derajatnya.Â
Dalam diam, mereka selalu hadir tanpa mengeluh, kendati sering sekali menerima luka dari perbuatan para penikmatnya yang tidak tahu berterima kasih.Â
Begitulah, aku berusaha selama ada di dekatmu. Entah, aku tidak mengerti, mengapa bisa sebodoh ini. Aku pun tidak pandai mengucapkan kata-kata indah dan kalimat paling tepat untuk melukiskan bagaimana isi perasaanku padamu. Aku hanya mencoba meniru, berlaku seperti pohon, ketika engkau memerlukan perteduhan.
Aku tahu, pohon itu sekarang sendirian di taman. Kedua orang yang biasa duduk di bawahnya, melepaskan setiap siang dengan makan bersama, bercanda tentang masalah kehidupan yang pelik adanya, sudah tidak muncul lagi.Â
Daun-daun pohon beringin itu yang tetap rindang dari masa ke masa, sama sekali tidak terpengaruh dengan entah sudah berapa kali mendengar ocehan gila dari orang-orang yang tidak bisa menerima kenyataan.Â
Ya, aku tahu, kamu pasti sampai kapan pun, tidak akan bisa paham bagaimana papamu berselingkuh dengan wanita lain saat ibumu hampir meregang nyawa sendirian di rumah sakit.
Kamu pun pasti sulit mengerti mengapa hati seorang laki-laki gampang sekali dibelokkan dengan harta dan wanita. Ketika seorang wanita sudah mulai mengering madunya, lelaki yang kamu lihat itu, mulai mencari wanita lain yang lebih ranum buahnya.
Aku sebetulnya ingin menjelaskan perlahan padamu, tetapi kamu keburu terbuai dengan tangis yang tidak kunjung berhenti, sampai-sampai kausku yang putih bersih berubah menjadi cokelat basah. Orang-orang di sekitar mulai melihatmu dan memasang tampang heran, mengapa saat siang yang begitu terik, ada seorang anak SMA menangis tersedu-sedu.Â
Aku ingat, aku lekas-lekas mengambil jaket, menutupi seluruh badanmu, dan merangkulmu perlahan, sembari mengelus-elus rambutmu. Aku bersenandung kecil dengan harap bisa menyaingi tangismu dan menghibur barang sedikit kepiluanmu.
Yang kau lakukan hanyalah tetap menangis, menangis, dan terus menangis. Aku mulai mengerti, itulah kebiasaanmu ketika menghadapi masalah. Ketika engkau tidak berani melakukan sesuatu meskipun itu dipandang baik dengan menegur papamu, kau hanya mampu meluapkan kekecewaan di dadaku.
Belum lama setelah itu, kau kembali mencari dadaku. Jujur, aku juga tidak sampai hati dan terus bertanya kepada Sang Pencipta, mengapa terkadang masalah yang tidak masuk akal datang bertubi-tubi seperti tidak bisa dijeda?
Aku memang sering mendengar para tetua meyakinkan bahwa semua masalah yang dialami seseorang pasti tidak melebihi kekuatan orang itu.Â
Tetapi, ketika masalah datang hampir bersamaan, aku mulai ragu, terlebih waktu tangismu sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Kau pun hampir terjatuh pingsan, jika aku tidak membelai pundakmu. Entah suara dari mana berkata dan memintaku untuk selain mengelus rambutmu, aku harus membelai pundakmu.
Lagi-lagi seperti dahulu, aku tidak mampu berkata. Memandang masalahmu saja, aku seperti tidak bisa menerima. Aku tahu, sebagai anak tunggal, merasakan kehilangan kasih seorang ibu begitu menyedihkan.
Tidak ada peristiwa pilu yang lebih memedihkan selain kehilangan seseorang yang paling dikasihi. Engkau selalu bercerita bahwa ibumulah yang selalu dekat denganmu sejak kecil. Ibumulah yang hadir selama dua puluh empat jam dalam setiap suasana hatimu.
Saat itu, ketika ibumu kalah menghadapi pertempuran melawan kematian, engkau seperti kehilangan separuh jiwamu. Aku melihatnya dari kedua bola matamu. Nanar, hampir kosong, sebagian memutih, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Aku memutuskan lebih lama untuk menemanimu, dibanding kebiasaan kita berdua setiap memadu kasih di taman itu.
Pohon beringin melambai-lambaikan daunnya. Entah kenapa, siang itu lebih sejuk dari biasa. Angin bertiup sepoi-sepoi di tengah matahari yang tidak terlalu terik. Suasana orang di sekitar pun lebih sepi. Apakah alam sedang mencoba mengerti dan menghibur hatimu?
Aku pun terkadang merasa demikian. Alam selalu hadir tanpa diminta dan selalu berhasil meringankan setiap emosi yang menyakitkan. Dalam dudukku di bawah pohon beringin itu sewaktu belum mengenalmu, aku juga berusaha melupakan pahitnya masa kelamku.Â
Mungkin kamu tidak tahu dan aku memang sengaja tidak menceritakannya, karena aku tidak ingin menambah kesedihanmu. Biarlah aku menjadi tempat perteduhanmu, kendati aku belum bisa menjadi tempat perteduhan yang paling baik.
Ya, aku tidak menyalahkanmu ketika waktu itu kau menghilang tanpa kabar. Dari Mirna, sahabatmu, aku baru tahu, kau pergi bersamanya, membeli baju-baju mahal, makan di restoran enak, dan menonton di bioskop.Â
Aku kau tinggalkan sendirian bersama pohon beringin ini. Tidak apa, itu semua memang hakmu. Setiap orang berhak menentukan kehidupan sendiri, hendak menjadi apa dan bersama siapa. Itu adalah kebebasan yang tidak boleh dikekang oleh siapa pun juga yang sebetulnya hanya berhak memberi pertimbangan.
Termasuk ketika engkau memilih menghabiskan hidup bersamanya. Ketika engkau -- entah mengapa bisa punya muka -- mengantarkan undanganmu sendiri di depanku, di bawah pohon beringin itu, tanpa rasa bersalah dan mungkin sudah lupa akan usaha-usaha aku meneduhkanmu.
Sekali lagi, aku tidak pandai berkata-kata dan merangkai argumen untuk mengingatkan kebaikan-kebaikanku padamu. Terlebih, aku ingat seseorang pernah berpesan untuk berbuat baiklah secara ikhlas.
Kabar terakhir yang kudengar, engkau sudah berpisah dengannya. Mirna terus mendesakku untuk mendekati dan merayumu. Tetapi lagi-lagi, aku tidak punya nyali untuk berkata-kata. Lagi pula, aku tidak bisa memaksa seseorang untuk mencintaiku.
Yang pasti, sampai kapan pun, jika engkau masih ingin menemuiku, aku tetap berada di taman ini. Bersama pohon beringin dan luka-luka yang telah kau tebarkan. Bersama cerita-cerita usang yang jika diingat terus memedihkan hati. Bersama rentetan masalah yang bila dipikir sangat tidak masuk akal. Bersama bekas-bekas air matamu yang masih menempel dan menjadi noda manis di bajuku.Â
Di atas bangku taman ini, aku masih terduduk setiap siang.
Masih ada pohon beringin yang terus berbuat baik dan menemaniku. Pohon itu masih melindungiku dari terik sinar matahari dan lebatnya rintik hujan.Â
Di tengah polusi-polusi udara yang membahayakan, ia terus menghadirkan oksigen yang menyegarkan dan menghidupkan seluruh bagian organ tubuhku. Ia tetap memberi perteduhan, kendati tidak berbicara, tidak bergerak, dan hanya bisa hadir dalam diam.
Jika engkau memerlukan perteduhan dariku, datanglah. Aku tidak akan beranjak dari sini.
...
Cerita selanjutnya: di Bawah Pohon Beringin di Taman Itu (Bagian 2)
...
Jakarta
22 Agustus 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H