Aku kau tinggalkan sendirian bersama pohon beringin ini. Tidak apa, itu semua memang hakmu. Setiap orang berhak menentukan kehidupan sendiri, hendak menjadi apa dan bersama siapa. Itu adalah kebebasan yang tidak boleh dikekang oleh siapa pun juga yang sebetulnya hanya berhak memberi pertimbangan.
Termasuk ketika engkau memilih menghabiskan hidup bersamanya. Ketika engkau -- entah mengapa bisa punya muka -- mengantarkan undanganmu sendiri di depanku, di bawah pohon beringin itu, tanpa rasa bersalah dan mungkin sudah lupa akan usaha-usaha aku meneduhkanmu.
Sekali lagi, aku tidak pandai berkata-kata dan merangkai argumen untuk mengingatkan kebaikan-kebaikanku padamu. Terlebih, aku ingat seseorang pernah berpesan untuk berbuat baiklah secara ikhlas.
Kabar terakhir yang kudengar, engkau sudah berpisah dengannya. Mirna terus mendesakku untuk mendekati dan merayumu. Tetapi lagi-lagi, aku tidak punya nyali untuk berkata-kata. Lagi pula, aku tidak bisa memaksa seseorang untuk mencintaiku.
Yang pasti, sampai kapan pun, jika engkau masih ingin menemuiku, aku tetap berada di taman ini. Bersama pohon beringin dan luka-luka yang telah kau tebarkan. Bersama cerita-cerita usang yang jika diingat terus memedihkan hati. Bersama rentetan masalah yang bila dipikir sangat tidak masuk akal. Bersama bekas-bekas air matamu yang masih menempel dan menjadi noda manis di bajuku.Â
Di atas bangku taman ini, aku masih terduduk setiap siang.
Masih ada pohon beringin yang terus berbuat baik dan menemaniku. Pohon itu masih melindungiku dari terik sinar matahari dan lebatnya rintik hujan.Â
Di tengah polusi-polusi udara yang membahayakan, ia terus menghadirkan oksigen yang menyegarkan dan menghidupkan seluruh bagian organ tubuhku. Ia tetap memberi perteduhan, kendati tidak berbicara, tidak bergerak, dan hanya bisa hadir dalam diam.
Jika engkau memerlukan perteduhan dariku, datanglah. Aku tidak akan beranjak dari sini.
...
Cerita selanjutnya: di Bawah Pohon Beringin di Taman Itu (Bagian 2)